Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Transisi ke EBT Dinilai Berpotensi Kerek Tarif Listrik

Biaya produksi listrik dari pembangkit listrik energi baru dan terbarukan (EBT) saat ini terbilang lebih mahal dibandingkan PLTU.
Pembangkit listrik tenaga bayu./Istimewa
Pembangkit listrik tenaga bayu./Istimewa

Bisnis.com, JAKARTA - Lembaga riset Reforminer Institute menyebut bahwa biaya produksi listrik yang dihasilkan oleh pembangkit listrik energi baru dan terbarukan (EBT) akan lebih mahal bila dibandingkan dengan listrik dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara.

Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro mencatat bahwa biaya produksi listrik dari EBT bisa mencapai Rp1.000 per KWh, sementara biaya produksi dari PLTU kurang dari Rp1.000 per KWh.

“Jadi EBT kan sekarang mungkin kalau listrik, batu bara katakanlah di kisaran Rp700-Rp800, tetapi kalau yang energi baru terbarukan kan di atas Rp1.000,” kata Komaidi dalam acara Energy Corner CNBC dikutip, Rabu (4/10/2023).

Produksi listrik dari EBT, lanjut Komaidi, otomatis akan mengerek strukur biaya produksi listrik dan berpotensi menaikkan tarif listrik masyarakat bila tingginya biaya produksi tersebut dibebankan pada konsumen.

Namun, biaya produksi listrik dari EBT juga bisa saja dibebankan pada APBN, dalam hal ini tarif listrik ke masyarakat disubsidi pemerintah.  

“Jadi kemungkinan program transisi energi itu bisa memberatkan APBN sebagai subsidi, atau dibebankan ke pelaku usaha, atau bisa juga dibebankan ke konsumen,” ujarnya.

Di sisi lain, Komaidi memandang bahwa pengembangan pembangkit EBT tetap masih membutuhkan sokongan dari pembangkit fosil.

“Begitu EBT-nya tetap jalan, tetapi fosilnya ketika masih diperlukan sebagai supporting, tetapi kita punya komitmen ke arah sana, ke EBT-nya akan masuk semakin banyak,” ucap Komaidi.

Adapun, PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN berencana menambah porsi pembangkit listrik berbasis EBT dalam revisi rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) hingga mencapai 62 gigawatt (GW).

Porsi itu mengambil 75 persen dari total penambahan pembangkit listrik baru yang dirancang dalam revisi RUPTL. Adapun, rancangan usaha penyediaan listrik anyar itu bakal berlaku hingga 2040 mendatang. 

“Kita sudah punya rencana yang cukup ambisius ya 20,9 GW [RUPTL saat ini] akan ditingkatkan lagi menjadi totalnya 62 GW,” kata EVP of Energy Transition and Sustainability PLN Kamia Handayani kepada Bisnis, Rabu (27/9/2023). 

Rencananya, target ambius penyediaan sumber setrum bersih itu dominan berasal dari pembangkit pembangkit listrik tenaga air (PLTA) dan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) dengan porsi mencapai 34 GW. 

Sisanya, sekitar 28 GW bakal dipenuhi lewat pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dan pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB). 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper