Bisnis.com, JAKARTA - Staf Khusus Menteri Koperasi dan UKM Bidang Pemberdayaan Ekonomi Kreatif, Fiki Satari, mengungkapkan sejumlah bahaya dari sebuah platform yang menjalankan bisnis media sosial dan e-commerce secara bersamaan.
Setidaknya, terdapat empat hal yang disampaikan Fiki. Pertama, sebuah platform bisa memonopoli pasar. Apalagi, monopoli alur traffic dijalankan tanpa disadari oleh para pengguna.
“Monopoli terjadi apabila ada platform yang mempunyai kemampuan untuk mengendalikan pasar, penetapan harga yang tidak adil, perlakuan yang berbeda, dan penetapan harga diskriminatif berdasarkan data yang dimiliki,” kata Fiki dalam keterangan resmi, Senin (2/10/2023).
Kedua, platform dapat memanipulasi algoritma. Pasalnya, platform yang memiliki media sosial dan e-commerce secara bersamaan dapat dengan mudah mendorong produk asing tertentu agar terus menerus muncul di akun pengguna. Di saat yang sama, hal tersebut mempersulit produk lokal untuk muncul di media sosial.
Tidak heran manipulasi algoritma ini memungkinkan platform untuk menguntungkan satu produk dan di saat bersamaan mendiskriminasi produk lainnya.
Ketiga, platform dapat memanfaatkan traffic. Sebagaimana diketahui, media sosial memiliki traffic yang sangat besar dan saat ini bisa dimanfaatkan sebagai navigasi atau trigger dalam pembelian di e-commerce.
Baca Juga
“Trigger pembelian ini tidak boleh ditangkap oleh e-commerce yang berada dalam satu platform dengan media sosial. Jika ini terjadi, maka tidak ada equal playing field dalam industri digital di Indonesia,” ujarnya.
Selanjutnya adalah perlindungan data. Fiki mengatakan, bila berkaca pada Undang-undang No.27/2022 tentang Perlindungan Data Pribadi, pemrosesan data pribadi dilakukan sesuai dengan tujuannya. Mengingat tujuan media sosial adalah sebagai hiburan, maka data yang diperoleh dari sana tak diperbolehkan untuk diperdagangkan.
Dengan demikian, dia mengatakan data demografi pengguna dan agregat pembelian sangat memungkinkan untuk diduplikasi sebagai basis pembuatan produk sendiri atau terafiliasi oleh platform yang menjalankan bisnis secara bersamaan.
Pemerintah pekan lalu telah mengesahkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No.31/2023 tentang Perizinan Berusaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.
Aturan ini salah satunya mengatur terkait pemisahan bisnis antara media sosial dan e-commerce. Dengan hadirnya Permendag tersebut, pemerintah hanya mengizinkan social commerce sebagai sarana penawaran barang dan jasa dan dilarang untuk memfasilitasi transaksi pembayaran pada sistem elektronik.
“PPMSE dengan model bisnis Social-Commerce dilarang memfasilitasi transaksi pembayaran pada Sistem Elektroniknya,” bunyi Pasal 21 ayat 3 dikutip Senin (2/10/2023).