Bisnis.com, JAKARTA – Ekonom melihat adanya potensi kapasitas fiskal Indonesia, dalam hal ini subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM), akan tertekan dengan kenaikan harga minyak global yang telah menembus dan tertahan di level US$90/barel.
Direktur Kebijakan Publik Center of Economic and Law Studies (Celios) Media Wahyudi Askar mengatakan adanya kenaikan tersebut akan menjadikan opsi penambahan subsidi energi yang paling mungkin diambil.
“Subsidi energi tampaknya jadi opsi yang paling mungkin diambil pemerintah ketimbang kebijakan menaikkan harga minyak terutama karena ini adalah tahun politik,” ujarnya, dikutip Selasa (11/9/2023).
Hal yang menjadi masalah, lanjut Media, adalah ketika subsidi tersebut melebihi alokasi anggaran tahun ini yang tentu saja berdampak pada pengurangan alokasi anggaran sektor lainnya.
Di level makro, kondisi ini justru menjadi langkah mundur upaya reformasi subsidi energi di Indonesia, karena subsidi BBM adalah salah satu subsidi pemerintah yang paling tidak tepat sasaran, karena lebih banyak dinikmati masyarakat kelas menengah atas.
“Dalam jangka pendek yang perlu dicari solusinya, bisa dengan negosiasi dengan suppliers, import diversification dan temporary tariff reduction. Namun perlu dihitung lagi besaran dampaknya dari setiap opsi yang dipilih,” tambahnya.
Baca Juga
Menurut Media, untuk solusi jangka panjang selain melakukan subsidi BBM, pemerintah dapat melakukan reformasi perpajakan hingga carbon pricing.
Mengutip dari Reuters, harga minyak Brent di awal pekan ini berada pada level US$90,64/barel. Harga tersebut tertahan di atas US$90/barel untuk pertama kalinya dalam 10 bulan menyusul penurunan produksi minyak mentah Arab Saudi dan Rusia.
Pasalnya, jumlah produksi minyak Arab Saudi sebagai produsen minyak terbesar dunia dan negara-negara yang termasuk dalam Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) menentukan pergerakan harga minyak.
Kondisi ketegangan geopolitik dan outlook ekonomi dunia terutama Amerika Serikat dan China akan menentukan arah harga komoditas termasuk minyak bumi.
Sebagai informasi, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati telah mendiskusikan terkait harga minyak tersebut dengan Menteri Keuangan Arab Saudi Mohammed Al Jadaan.
Namun, Sri Mulyani enggan untuk mengomentari terkait kondisi harga minyak yang berpotensi menekan APBN, saat ditemui di DPR hari ini, Selasa (12/9/2023).
Alokasi Subsidi BBM Tahun Ini Lebih Rendah dari 2022
Di dalam negeri, APBN kita dan perekonomian Indonesia sangat dipengaruhi pergerakan dan perubahan harga minyak.
Mengingat tahun lalu, kenaikan harga minyak yang melambung jauh dari perkiraan hingga US$100/barel membuat subsidi BBM bengkak dan naik lebih dari tiga kali lipat.
Pada tahun ini, pemerintah mengalokasikan anggaran subsidi dan kompensasi energi sebesar Rp339,6 triliun, termasuk BBM di dalamnya. Lebih rendah dari realisasi 2022 yang mencapai Rp551 triliun.
Hingga Agustus 2023, subsidi dan kompensasi BBM telah mencapai Rp59,7 triliun dengan volume 8,65 juta kiloliter.
Kepala Pusat Kebijakan APBN Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Wahyu Utomo menekankan alokasi tersebut akan cukup sepanjang 2023.
Melalui pertimbangan kurs Rp14.800 per dolar AS dan asumsi Indonesian Crude Price (ICP) 90 serta volume subsidi maksimal 29 juta kilo liter untuk BBM jenis Pertalite, APBN 2023 masih mampu menahan gejolak yang ada.
“Untuk 2023 alokasi subsidi energi dan kompensasi Rp339,6 triliun, jadi mungkin dikisaran itu masih cukup memadai untuk menahan gejolak dari nilai tukar, ICP, dan volume, jadi masih memadai menurut kami,” ujarnya beberapa waktu lalu.