Bisnis.com, JAKARTA - Keputusan India melarang ekspor beras sejak Juli 2023 telah membuat kepanikan baru di pasar beras global. Apalagi diplomasi negatif itu dilakukan pada masa kekeringan ekstrem El-Nino yang melanda sebagian besar negara produsen beras Asia.
Harga beras global merangkak naik menjadi US$547 per ton pada Juli 2023, lalu naik lagi menjadi US$635 per ton pada Agustus 2023 untuk beras kualitas Thai 5 persen broken. Harga beras medium (Thai 25 persen broken) di pasar global US$524 per ton pada Juli 2023, lalu naik lagi menjadi US$600 per ton pada Agustus 2023.
Apakah diplomasi negatif India akan menghasilkan ‘kiamat beras’ di pasar global, seperti sering menjadi tajuk berita media nasional dan media sosial? Tidak separah itu. Artikel ini menganalisis pasar beras global setelah pelarangan ekspor beras oleh India dan konsekuensinya bagi ekonomi perberasan Indonesia.
Penutup artikel ini adalah strategi besar dan perubahan kebijakan yang perlu diambil Indonesia, baik oleh sektor swasta dan petani, maupun oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
UPDATES EKONOMI BERAS GLOBAL
Laporan Prakiraan Pasokan dan Permintaan Produk Pertanian yang dirilis oleh Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) pada Agustus 2023 sedikit melegakan dibandingkan dengan Laporan serupa versi Juli 2023. Secara umum pada 2023/2024 ini terjadi peningkatan pasokan, penurunan konsumsi, penurunan ekspor, dan peningkatan stok dibandingkan bulan lalu.
Pasokan beras naik 0,4 juta ton menjadi 694,7 juta ton, terutama karena stok awal yang lebih besar di India. Jika terjadi penurunan stok awal di Vietnam, hal itu tidak terlalu mengurangi total beras global yang sebenarnya masih meningkat.
Baca Juga
Produksi beras global dunia diperkirakan naik sedikit atau 8,1 juta ton lebih besar dibandingkan 2022/23. Ekspor global turun 3,4 juta ton menjadi 53,0 juta ton karena larangan ekspor India tersebut. Ekspor India turun 4,0 juta ton menjadi 19,0 juta, tetapi ekspor beras dari Pakistan, Brasil, dan Vietnam justru naik.
Total konsumsi beras global turun 1,0 juta ton menjadi 523,0 juta ton, karena impor beras Asia dan Afrika Sub-Sahara turun. Proyeksi stok akhir dunia pada 2023/24 meningkat 1,3 juta ton menjadi 171,8 juta.
Meskipun demikian, diplomasi negatif larangan ekspor beras India telah membuat banyak negara net-consumers beras, terutama di Asia, mulai kalang kabut dalam dua bulan terakhir. India sedang bersiap melaksanakan Pemilihan Umum pada 2024, dan bermaksud menahan lonjakan harga beras di dalam negerinya karena fenomena kekeringan ekstrem El-Nino dan IOD (Indian Ocean Dipole) postif. Sejak kebijakan larangan ekspor itu, harga beras domestik India terlihat lebih stabil pada 39 rupee/kg (setara Rp 7.500/kg) yang mungkin dapat menambah citra positif Pemerintahan Narendra Modi dalam menghadapi Pemilu.
India terlihat menikmati posisi superior dalam diplomasi perdagangan beras global ini, terutama setelah banyak negara kosumen beras melakukan perundingan langsung dan minta pengecualian dari larangan ekspor itu. Saat ini, 40 negara menggantungkan impor beras dari India. Bahkan beberapa negara di Afrika dan Asia Selatan sekitar 80% impor berasnya bergantung pada India. Pada akhir Agustus 2023, melalui perundingan yang alot. India akhirnya mengizinkan ekspor beras putih non-basmati ke Singapura sebesar 50.000 ton, ke Bhutan 79.000 ton dan ke Mauritius 14.000 ton, dengan alasan membantu ketahanan pangan. Menteri Perdagangan Guyana Afrika datang khusus ke India untuk memperoleh pengecualian dari larangan ekspor beras itu, walau belum dikabulkan.
Para analis ekonomi beras global khawatir jika diplomasi negatif India ini diikuti negara produsen beras lain seperti Thailand dan Vietnam. Lonjakan harga beras tinggi pasti memukul konsumen miskin atau yang memiliki porsi pengeluaran terhadap pangan pokok sangat tinggi. Bahkan, di Indonesia, kenaikan harga beras tersebut dapat meningkatkan angka kemiskinan yang signifikan dan bahkan berkontribusi pada lonjakan laju inflasi nasional.
LONJAKAN HARGA BERAS DI PASAR INDONESIA
Lonjakan harga beras di pasaar Indonesia telah berlangsung sejak akhir Juni 2023, karena harga beras merangkak naik menjadi Rp13.650/kg dan terus naik tinggi hinga Rp13.850/kg pada awal September 2023. Kenaikan beras sebesar Rp2.000/kg dalam setahun terakhir tentu bukan persoalan biasa, karena pasti berhubungan dengan desain kebijakan dan manajemen stok beras, yang berada di bawah kendali Badan Pangan Nasional (NFA) dan dilaksanakan oleh dua Badan Usaha Milik Negara (BUMN) strategis, yaitu Perum Bulog dan ID-Food alias PT RNI Holding. Kenaikan harga beras dalam 3 tahun terkahir juga berhubungan dengan penurunan produksi dalam negeri, karena musim kering ekstrem El-Nino yang telah melanda hampir semua sentra produksi padi di Indonesia.
Laporan resmi Badan Meterologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyatakan bahwa pada bulan September 2023 ini, curah hujan sangat rendah, bahwa di bawah 20 mm di sebagian besar sentra produksi padi di Indonesia di Jawa, Sumatra Bagian Selatan, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tenggara, dll. Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan metode kerangka sampel area (KSA) menunjukan bahwa neraca beras mulai defisit lagi sejak Juli, Agustus, bahkan diperkirakan berlanjut hinggta September dan Oktober 2023, bahkan mencapai total 720.000 ton. Strategi manajemen stok beras dan kemampuan pengelolaan psikologi pasar akan mampu menahan lonjakan harga beras di dalam negeri. Bantuan sosial beras 10 kilogram kepada 21,4 juta keluarga penerima manfaat (KPM) hingga Oktober 2023 diharapkan mampu mengurangi beban ekonomi masyarakat.
Sebagai penutup, beberapa rekomendasi kebijakan berikut ini perlu segera diambil untuk meredam lonjakan harga beras dan mengendalikan pasokan. Pertama, Perum Bulog harus menyelesaikan sisa kekurangan 800.000 ton dari kuota impor beras 2 juta ton yang ditugaskan hingga akhir 2023. Finalisasi negosiasi dengan negara produsen beras lain selain India dapat terus dilakukan, misalnya dengan Thailand, Vietnam, Kamboja, Pakistan dll. Bulog perlu antisipasi lonjakan harga impor, karena pasar global sedang bergejolak. Kepiawaian negosiasi bisnis dan pengusaan lapang akan sangat menentukan keberhasilan ini.
Kedua, Bulog perlu lebih taktis dalam manajemen stok dan pengadaan dalam negeri, karena harga gabah di tingkat petani sudah naik tinggi bahkan mencapai Rp6.000/kg, jauh di atas Rp5.000/kg sesuai Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Para pejabat Bulog pasti sudah amat paham bahwa mereka saat ini sedang bersaing dengan industri beras swasta besar yang bahkan makin berani membeli harga beras petani dengan harga yang cukup tinggi. Di satu sisi, tingginya harga gabah ini sedikit mampu meningkatkan kesejahteraan petani. Tapi, di sisi lain, kenaikan harga gabah juga memukul industri penggilingan padi kecil dan menengah yang senantiasa ‘kalah bersaing’ dalam memperoleh pasokan gabah petani.
Ketiga, Kementerian Pertanian dan Pemerintah Daerah perlu saling bahu-membahu melakukan percepatan tanam pada lahan rawa, lebak, dan yang mengandalkan irigasi teknis dan perpompaan, untuk meningkatkan kapasitas produksi padi di dalam negeri. Penggunaan benih padi unggul tahan kekeringan perlu terus disebarkan di seluruh wilayah.