Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Dedolarisasi Kian Nyata: Asean, RI, hingga China Kompak 'Buang' Dolar AS

Gerakan dedolarisasi terus terjadi. Asean, Indoensia, hingga China kompak 'buang' dolar AS untuk transaksi keuangan. Apa dampaknya?
Ilustrasi dedolarisasi. Dok. Freepik
Ilustrasi dedolarisasi. Dok. Freepik

Bisnis.com, JAKARTA - Keperkasaan dolar Amerika Serikat atau dolar AS sebagai alat transaksi global kian memudar. Negara-negara di kawasan Asean, termasuk Indonesia, bahkan China kompak ‘buang’ dolar AS dan beralih ke mata uang lokal.

Aksi meninggalkan dolar AS untuk transaksi keuangan atau dedolarisasi oleh negata-negara di kawasan Asean disampaikan secara resmi oleh Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo dalam forum pertemuan para menteri keuangan dan gubernur bank sentral Asean atau Asean Finance Ministers and Central Bank Governors (AFMGM) di Jakarta pekan lalu.

Sebagai bentuk nyata dedolarisasi, Perry menuturkan para pemimpin Asean sepakat memperkuat regional payment connectivity (RPC) dan mendorong penggunaan local currency transactions (LCT).


“Kami berharap akan semakin banyak negara anggota Asean yang menjalin kerja sama dalam LCT. Hal ini pada akhirnya akan mendorong stabilitas makroekonomi, sistem keuangan, dan juga untuk mengatasi kerentanan eksternal yang meningkat,” kata Perry.

Kerja sama LCT atau transaksi menggunakan mata uang lokal masing-masing negara disepakati oleh Indonesia bersama Malaysia dan Thailand.

Kesepakatan tersebut diwujudkan melalui penandatanganan Nota Kesepahaman oleh Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, Gubernur Bank Negara Malaysia Abdul Rasheed Ghaffour, dan Gubernur Bank Thailand Sethaput Suthiwartnarueput, di sela-sela Pertemuan AFMGM di Jakarta.

Selain itu, Jepang dan China telah melakukan kerja sama LCT dengan Indonesia. Dengan kata lain, kelima negara tersebut bertransaksi tanpa menggunakan dolar AS seperti pada umumnya.

Deputi Senior Bank Indonesia (BI) Destry Damayanti menjelaskan bahwa saat ini kerja sama LCT juga tengah menunggu kesepakatan final dengan Korea Selatan. 

“LCT kita baru dengan 4 negara, tinggal gong dengan Korea Selatan. Sekarang dengan Malaysia, Thailand, Jepang, China, dan trennya [transaksinya] meningkat,” ujarnya dalam konferensi pers beberapa waktu lalu. 

Harapannya, kerja sama LCT tersebut akan mendorong stabilitas ekonomi makro, sistem keuangan, serta bermanfaat untuk menahan dampak dari gejolak eksternal yang meningkat di negara-negara berkembang.

Bukti Nyata Dedolarisasi

BI melaporkan transaksi LCT per Juli 2023 telah mencapai US$3,7 miliar. Naik sekitar US$0,5 miliar dari bulan sebelumnya.  

Sementara realisasi tahun lalu atau sepanjang 2022 berada di angka US$4,1 miliar. Untuk itu, BI optimistis kinerja transaksi LCT hingga akhir 2023 akan lebih tinggi dari 2022.  

“Masih ada 5 bulan lagi ke depan sehingga masih optimis LCT ini bisa terus meningkat dan apalagi kalau kita lihat Malasyia sangat agresif menggunkaan pendekatan LCT, termasuk dalam ekspor impor,” paparnya. 

Destry menjelaskan bahwa agresifnya penggunaan LCT di Malaysia juga terlihat dari variasi penggunanya mulai dari segmen kecil hingga besar yang mencapai 2.178 eksportir maupun importir. 

Indonesia bersama negara-negara di kawasan Asia Tenggara atau Asean telah memulai perluasan konektivitas pembayaran regional (RPC). Para anggota telah menyepakati Peta Jalan RPC yang menguraikan jangka waktu anggota Asean bergabung dengan satu wadah.  

Bank Sentral Asean juga memiliki komitmen dan memberikan dukungan sepenuhnya dalam mewujudkan integrasi kawasan Asean melalui inisiatif transaksi menggunakan LCT dan RPC. 

Dengan demikian, bank sentral negara-negara Asean sepakat tak lagi bergantung dengan dolar AS. Selain Asean, kerja sama tersebut juga diperluas ke negara-negara lainnya, seperti Jepang, China, dan Korea Selatan atau Asean +3.

Gubernur Bank Indonesia Warjiyo bersama Gubernur Bank Sentral beberapa negara Asean di sela-sela acara AFMGM 2023 di Jakarta./ Dok Bank Indonesia
Gubernur Bank Indonesia Warjiyo bersama Gubernur Bank Sentral beberapa negara Asean di sela-sela acara AFMGM 2023 di Jakarta./ Dok Bank Indonesia

Seruan Blok BRICS

Di luar Asean, seruan dedolarisasi sudah muncul sejak hari pertama pelaksanaan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS di Johannesburg, Afrika Selatan pada 22 Agustus 2023.

Presiden Brasil Luiz Inácio Lula da Silva bahkan menginginkan dedolarisasi berjalan secepat mungkin. Dia mendesak BRICS, yang saat ini terdiri dari Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan agar menentukan mata uang bersama untuk transaksi perdagangan sesama anggota.

"Saya telah membela ide untuk mengadopsi unit referensi untuk perdagangan, yang tidak akan menggantikan mata uang nasional kita," ujar Lula pada Selasa (22/8/2023).

Lula menilai bahwa mata uang bersama dapat menjembatani perdagangan dan investasi antaranggota BRICS. Bukan hanya itu, mata uang bersama juga mengurangi kerentanan negara-negara tersebut terhadap fluktuasi nilai dolar AS.

"[Mata uang BRICS] meningkatkan pilihan pembayaran dan mengurangi kerentanan kita," ujar Lula, dilansir dari Reuters.

Seruan dedolarisasi dapat dipahami, karena berdasarkan catatan Bank of International Settlements Data, hampir 90 persen transaksi valas global terjadi dalam mata uang dolar AS.

Selain itu, negara-negara lain pun rentan terpapar risiko pergerakan nilai tukar dolar AS, seperti yang terjadi di tengah tekanan ekonomi global pada 2022.

Apalagi, suku bunga AS terus mencatatkan kenaikan—dengan sejumlah pihak memproyeksikan kembali naik pada bulan depan.

Ahli Strategi Tellimer Research Hasnain Malik memandang bahwa pembesaran BRICS secara organisasi dilandasi oleh keinginan untuk membangun alternatif terhadap sistem internasional yang saat ini masih berpusat pada hegemoni AS.

Menurutnya, hal itu cukup wajar dalam rangka menciptakan stabilitas di dalam segala aspek karena tingginya ketergantungan aktivitas perdagangan dengan mata uang Paman Sam.

"Perbedaan harus dibuat dan banyak orang mencari alternatif mata uang cadangan yang saat ini hampir tidak dimiliki oleh negara atau kelompok negara lain," ujar Malik.

 Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva, Presiden China Xi Jinping, Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa, Perdana Menteri India Narendra Modi, dan Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov berpose saat KTT BRICS di Johannesburg, Afrika Selatan, Selasa (22/8/2023). /Reuters
Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva, Presiden China Xi Jinping, Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa, Perdana Menteri India Narendra Modi, dan Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov berpose saat KTT BRICS di Johannesburg, Afrika Selatan, Selasa (22/8/2023). /Reuters

Tanggapan DPR dan Ekonom

Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR Said Abdullah mendukung langkah Bank Indonesia (BI) dalam mengajak negara-negara Asean untuk mengimplementasikan regional payment connectivity (RPC), untuk mengurangi ketergantungan terhadpa dolar Amerika Serikat (AS). 

Melihat kinerja perdagangan luar negeri Indonesia, Said menyampaikan bahwa Banggar sebenarnya sudah lama mendorong BI untuk untuk menggunakan berbagai skema pembayaran mata uang. 

Mitra dagang Indonesia tercatat terbanyak di Asean. Di luar itu ada China, Amerika Serikat, Jepang, dan Korea Selatan. Untuk itu, sangat masuk akal jika BI menggunakan banyak mekanisme pembayaran.

“Bagi kami, dalam kawasan Asean, ada baiknya BI tidak hanya menggunakan pembayaran dolar AS, tetapi juga memikirkan pembayaran regional di kawasan Asean untuk negara negara anggota Asean,” katanya dalam keterangan resmi, Senin (28/8/2023). 

Said bahkan meminta BI untuk mengkaji lebih dalam jika Indonesia menggunakan mata uang bersama seperti Euro seperti negara-negara anggota Uni Eropa. 

Menurutnya, selama ini Indonesia menggunakan dolar justru berujung pada rupiah yang  terdepresiasi. 

“Selama setahun lalu saja rupiah cenderung terkoreksi hingga minus 9,3 persen. Dan dalam sejarah panjang kita menggunakan USD dalam pembayaran internasional, rupiah cenderung konsisten terdepresiasi. Tentu ini merugikan secara ekonomi dan keuangan,” tambah Said. 

Peneliti China-Indonesia di Center for Economic and Law Studies (Celios) Muhammad Zulfikar Rakhmat menilai bahwa dedolarisasi memang sudah terjadi beberapa tahun terakhir. Penyelenggaraan KTT BRICS di Afrika Selatan menurutnya bisa semakin mempercepat dedolarisasi.

Meskipun begitu, menurutnya, bukan berarti dedolarisasi akan bergantung kepada yuan atau mata uang China. Posisi Negeri Tirai Bambu yang memiliki kekuatan ekonomi tertinggi di BRICS tidak semata-mata membuat mata uangnya dapat digunakan serempak.

"Selama ini, walaupun ada upaya dari China untuk menginternasionalisasi mata uangnya, tetapi upaya itu terbatas. Salah satu alasannya adalah China masih memiliki foreign exchange reserve sangat besar dalam bentuk dolar AS, yang mana itu perlu dibuang ke luar agar ekonomi China tetap stabil," ujar Fikar.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper