Bisnis.com, JAKARTA - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkapkan bahwa perkiraan harga unit karbon yang akan diperdagangkan dalam bursa karbon berada pada rentang US$2-US$24 per ton.
“Harga [karbon] di Indonesia kami baru lakukan kajian dengan lembaga internasional juga. Range-nya US$2-US$24, jadi ini yang akan berlaku nanti,” kata Direktur Teknik dan Lingkungan Ditjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Mohamad Priharto Dwinugroho dalam diskusi dengan Otoritas Jasa Keuangan, Kamis (27/7/2023).
Nugroho menyebut bahwa harga tersebut masih dalam perkiraan dan masih berupa kajian dari pihaknya dengan beberapa stakeholder lainnya, serta belum ditetapkan pada aturan tertentu.
Lebih lanjut, dia menuturkan, faktor yang memengaruhi harga karbon adalah permintaan dan juga produksi dari karbon ini sendiri.
“Tentu saja dari sisi produksinya sendiri, pemberlakukan demand dan supply itu harus dipertimbangkan dan kebutuhannya seberapa besar untuk emsisi CO2 ini di pasar,” ujarnya.
Diberitakan sebelumnya, pemerintah berencana untuk menerapkan bursa karbon pada September 2023. Nantinya, perdagangan karbon sekunder di bursa itu bakal diawasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Baca Juga
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, target penerapan bursa karbon itu menjadi komitmen pemerintah untuk dapat mengurangi gas buang hingga 30 persen pada 2030 mendatang.
“Kita berencana untuk menerapkan bursa karbon pada September 2023, sebagai bagian dari upaya untuk mempercepat bauran energi terbarukan dan nol emisi pada 2060 nanti,” kata Luhut saat membuka acara Penandatanganan Implementing Arrangement (IA) UK PACT Carbon Pricing, Jakarta, Senin (24/7/2023).
Nantinya, kata Luhut, entitas yang dapat ikut dalam perdagangan sekunder karbon itu hanya perusahaan atau badan usaha yang beroperasi di Indonesia.
Di sisi lain, dia memperkirakan aktivitas perdagangan karbon di dalam negeri, lewat perdagangan primer antarentitas bisnis dan sekunder melalui bursa OJK, dapat mencapai US$1 miliar sampai dengan US$15 miliar atau setara dengan Rp225,21 triliun (asumsi kurs Rp15.014 per dolar US$) setiap tahunnya.
“Jadi angka yang sangat besar, kita mungkin salah satu negara yang bisa menampung CO2 karena kita punya depleted reservoir dan saline aquifer mencapai 400 gigaton, ini sangat besar,” kata dia.