Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah berencana untuk menerapkan bursa karbon pada September tahun ini. Nantinya perdagangan karbon sekunder di bursa itu bakal diawasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, target penerapan bursa karbon itu menjadi komitmen pemerintah untuk dapat mengurangi gas buang hingga 30 persen pada 2030 mendatang.
“Kita berencana untuk menerapkan bursa karbon pada September 2023, sebagai bagian dari upaya untuk mempercepat bauran energi terbarukan dan nol emisi pada 2060 nanti,” kata Luhut saat membuka acara Penandatanganan Implementing Arrangement (IA) UK PACT Carbon Pricing, Jakarta, Senin (24/7/2023).
Nantinya, kata Luhut, entitas yang dapat ikut dalam perdagangan sekunder karbon itu hanya perusahaan atau badan usaha yang beroperasi di Indonesia.
Di sisi lain, dia memperkirakan aktivitas perdagangan karbon di dalam negeri, lewat perdagangan primer antarentitas bisnis dan sekunder melalui bursa OJK, dapat mencapai US$1 miliar sampai dengan US$15 miliar atau setara dengan Rp225,21 triliun (asumsi kurs Rp15.014 per dolar US$) setiap tahunnya.
“Jadi angka yang sangat besar, kita mungkin salah satu negara yang bisa menampung CO2 karena kita punya depleted reservoir dan saline aquifer mencapai 400 gigaton, ini sangat besar,” kata dia.
Baca Juga
Seperti diberitakan sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif membeberkan, banyak perusahaan minyak dan gas (migas) kelas wahid, seperti BP, ExxonMobil, hingga Chevron ingin menjadi operator sejumlah reservoir penyimpanan karbon di Indonesia.
Arifin mengatakan, ketertarikan sejumlah perusahaan migas global itu dipantik oleh potensi kapasitas penyimpanan atau storage karbon yang terbilang besar dari beberapa lapangan migas yang telah habis dikuras.
“Sudah banyak yang berebut masuk untuk bisa mengoperasikan lapangan-lapangan ini, Exxon, Chevron, BP sudah langsung mulai di Tangguh, selain bisa menampung karbon untuk mengurangi emisi, juga bisa mendorong industri kita nanti sebagai carbon hub,” kata Arifin di Jakarta, Rabu (5/7/2023) malam.
Berdasarkan studi yang telah dilakukan Lemigas Kementerian ESDM dan studi lainnya, Indonesia memiliki potensi storage sekitar 2 giga ton CO2 pada depleted reservoir migas yang tersebar pada beberapa area dan sekitar 10 giga ton CO2 pada saline aquifer di West Java dan South Sumatra Basin.
Hasil kajian lain yang dilakukan oleh ExxonMobil memperkirakan potensi storage jauh lebih besar, yaitu sekitar 80 gigaton CO2 pada saline aquifer, sementara dari hasil kajian Rystad Energy memperkirakan lebih dari 400 giga ton CO2 pada reservoir migas dan saline aquifer Indonesia.
“Kita bisa lakukan perdagangan, eh you mau nyimpan bayar, contohnya Jepang, Korea punya program menyimpan 100 juta ton CO2 cairnya setiap tahun, kalau carbon prices dinilai US$60 sampai US$100 per tahun, nanti potong ongkos-ongkos macam-macam, kita potensi dapat devisa dari 400 giga ton tersebut,” kata dia.