Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Menteri ESDM Sebut Raksasa Migas Global Rebutan Jadi Operator Penyimpanan Karbon RI

Menteri ESDM Arifin Tasrif menyebut ketertarikan sejumlah perusahaan migas global itu dipantik oleh potensi kapasitas penyimpanan karbon yang terbilang besar
Menteri ESDM Arifin Tasrif saat ditemui di Hotel Ayana MidPlaza, Jakarta Pusat pada Jumat (9/9/2022)./Bisnis-Ni Luh Anggela
Menteri ESDM Arifin Tasrif saat ditemui di Hotel Ayana MidPlaza, Jakarta Pusat pada Jumat (9/9/2022)./Bisnis-Ni Luh Anggela

Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif membeberkan, banyak perusahaan minyak dan gas (migas) kelas wahid, seperti BP, ExxonMobil, hingga Chevron ingin menjadi operator sejumlah reservoir penyimpanan karbon di Indonesia. 

Arifin mengatakan, ketertarikan sejumlah perusahaan migas global itu dipantik oleh potensi kapasitas penyimpanan atau storage karbon yang terbilang besar dari beberapa lapangan migas yang telah habis dikuras. 

“Sudah banyak yang berebut masuk untuk bisa mengoperasikan lapangan-lapangan ini, Exxon, Chevron, BP sudah langsung mulai di Tangguh, selain bisa menampung karbon untuk mengurangi emisi, juga bisa mendorong industri kita nanti sebagai carbon hub,” kata Arifin di Jakarta, Rabu (5/7/2023) malam. 

Berdasarkan studi yang telah dilakukan Lemigas Kementerian ESDM dan studi lainnya, Indonesia memiliki potensi storage sekitar 2 giga ton CO2 pada depleted reservoir migas yang tersebar pada beberapa area dan sekitar 10 giga ton CO2 pada saline aquifer di West Java dan South Sumatra Basin. 

Hasil kajian lain yang dilakukan oleh ExxonMobil memperkirakan potensi storage jauh lebih besar, yaitu sekitar 80 giga ton CO2 pada saline aquifer, sementara dari hasil kajian Rystad Energy memperkirakan lebih dari 400 giga ton CO2 pada reservoir migas dan saline aquifer Indonesia. 

“Kita bisa lakukan perdagangan, eh you mau nyimpan bayar, contohnya Jepang, Korea punya program menyimpan 100 juta ton CO2 cairnya setiap tahun, kalau carbon prices dinilai US$60 sampai US$100 per tahun, nanti potong ongkos-ongkos macam-macam, kita potensi dapat devisa dari 400 giga ton tersebut,” kata dia. 

Malahan, Arifin menambahkan, Indonesia berpotensi memanfaatkan hanya 25 persen dari reservoir penyimpanan karbon itu hingga 2060. Sisanya, kata dia, dapat dipakai sebagai hub untuk diperdagangkan dengan beberapa negara lain yang minim fasilitas tersebut. 

“Ini sekarang kita sedang kembangkan kalau kita bisa laksanakan dengan baik, kita bisa jadikan ancaman sebagai kesempatan,” kata dia. 

Saat ini, terdapat 14 proyek fasilitas penangkapan, pemanfaatan dan penyimpanan karbon (CCS/CCUS) yang tengah dikembangkan di Indonesia dengan target operasi maksimal 2030 mendatang.

Adapun, ke-14 proyek itu tersebar dari Arun, Sakakemang, Central Sumatra Basin Hubs, Coal to DME+ yang dikembangkan Pertamina dan Chiyoda Corp; Ramba, Gundih, East Kalimantan & Sunda Asri Basin Hubs, CCU to Methanol RU V Balikpapan, Sukowati, Abadi, Blue Ammonia yang dikembangkan Panca Amara Utama bersama dengan Jogmec, Mitsubhisi dan ITB, Tangguh. 

Sementara terdapat dua lapangan yang masih studi lebih lanjut di kawasan Jawa Timur yang dikembangkan Pertamina dan Chevron dan fasilitas di Kalimantan Timur yang dikembangkan Kaltim Parna Industri bersama dengan ITB. 

Partner and Co-Leader of Energy and Sustainability Practice McKinsey & Company Rajat Agarwal mengatakan, pengembangan CCUS di Indonesia dapat dilakukan pada tahap awal dengan menyediakan reservoir untuk sejumlah negara yang telah mapan pada mekanisme perdagangan karbon. 

“Sejumlah industri besar di Jepang, Korea Selatan, atau Singapura yang lebih dekat tidak memiliki akses pada reservoir untuk memasukkan emisi mereka,” kata Rajat saat ditemui Bisnis di kantor McKinsey and Company, Jakarta Selatan, belum lama ini.

Peluang reservoir itu, kata Rajat, dapat menjadi tahap awal pengembangan ekosistem CCUS di industri dalam negeri yang belum memiliki skema perdagangan karbon yang mapan. Alasannya, keekonomian proyek CCUS mesti disokong oleh skema perdagangan karbon untuk menutupi biaya investasi fasilitas penangkapan karbon yang besar tersebut.

“Indonesia dapat memulai rencana CCUS dengan menyediakan pelayanan penyimpanan secara global untuk negara-negara lain di mana harga karbon di negara itu sudah tinggi yang membuat keekonomian masuk akal,” tuturnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper