Bisnis.com, JAKARTA — Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN Darmawan Prasodjo menegaskan dana himpunan Just Energy Transition Partnership atau JETP bakal menjadi opsi pembiayaan dengan bunga murah di level 4,5 persen bagi pengembang listrik swasta di dalam negeri.
Darmawan menegaskan alternatif pembiayaan transisi energi yang dipimpin kemitraan AS-Jepang ini tidak bersifat wajib bagi PLN dan juga pengembang listrik swasta atau independent power producer (IPP).
Dia menggarisbawahi JETP dapat menjadi pilihan menarik bagi pengembang untuk mencari biaya modal atau cost of capital dengan bunga kompetitif.
“Kami sebenarnya membangun kanal untuk memfasilitasi mereka [IPP] untuk mendapatkan akses financing yang low cost yang ini adalah green financing. Apakah murah? Secara komparatif ini murah sekitar 4,5 persen,” kata Darmawan saat rapat dengar pendapat (RDP) Panja Transisi Energi dengan Komisi VI, Jakarta, Rabu (12/7/2023).
Opsi itu, kata Darmawan, menjadi relevan lantaran beberapa investor PLN dan juga swasta justru memiliki akses pendanaan pada sovereign wealth funds (SWF) beberapa negara dan lembaga keuangan yang tergabung ke dalam JETP.
Kendati demikian, dia menggarisbawahi, beberapa investor masih memiliki biaya modal dengan bunga komersial yang relatif tinggi di kisaran 7 persen sampai dengan 8 persen.
“Ada juga beberapa investor kami punya akses ke sovereign wealth dari mereka [negara & lembaga anggota JETP] yang tidak masuk akal 1,5 persen bunga itu sovereign wealth dari mereka, tetapi ada juga cost of capital-nya 7 sampai 8 persen,” kata dia.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Dadan Kusdiana mengatakan pemerintah masih bernegosiasi untuk mengamankan porsi pendanaan murah transisi energi dari pakta iklim Amerika Serikat dan Jepang bersama rekanan lainnya tersebut.
“Kalau hibah di angka US$160 juta, technical assitant kisarannya sekitar itu juga, nanti ada yang pasti US$10 miliar pinjaman komersial, rate-nya [bunga] belum tahu sampai sekarang,” kata Dadan saat ditemui di Jakarta, Selasa (276/20230).
Seperti diketahui pakta iklim yang tergabung ke dalam kemitraan JETP itu sempat berjanji untuk menyediakan dana himpunan US$20 miliar setara dengan Rp299,74 triliun dari publik dan swasta selama 3 hingga 5 tahun mendatang untuk pemerintah Indonesia.
Skema pendanaan JETP itu terdiri atas US$10 miliar yang berasal dari komitmen pendanaan publik dan US$10 miliar dari pendanaan swasta yang dikoordinatori oleh Glasgow Financial Alliance for Net Zero (GFANZ), yang terdiri atas Bank of America, Citi, Deutsche Bank, HSBC, Macquarie, MUFG, dan Standard Chartered.
Adapun, kemitraan JETP yang dipimpin AS-Jepang ini, termasuk di dalamnya negara anggota G7 lainnya, yakni Kanada, Inggris, Prancis, Jerman, dan Italia, serta juga melibatkan Norwegia dan Denmark.
“Sebagian hibah itu masuknya di dalam pengerjaan feasibility study, itu masuknya begitu, kan angkanya US$150-an juta, enggak bakalan cukup untuk danai proyek,” kata Dadan.
Di sisi lain, Dadan mengatakan, pemerintah telah menyampaikan lima prioritas program yang potensial untuk didanai JETP, di antaranya pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara, penambahan kapasitas pembangkit energi baru terbarukan (EBT), peningkatan efisiensi, rasio elektrifikasi, serta infrastruktur transmisi.
Adapun, PLN tengah mengonsolidasi seluruh program hijau yang belum memeroleh pendanaan untuk masuk ke dalam Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) skema JETP.
Lewat konsolidasi proyek itu, PLN telah menyiapkan 522 proyek pembangkit EBT potensi yang seluruhnya berasal dari Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 untuk dapat didanai JETP. Total kapasitas daya setrum yang dihasilkan dari 522 proyek EBT itu mencapai sekitar 15,1 gigawatt (GW) sampai akhir 2030.