Bisnis.com, JAKARTA — Presidential Climate Commission (PCC) Republic of South Africa mendorong Indonesia untuk meningkatkan porsi hibah dan bantuan teknis komitmen pendanaan transisi energi Just Energy Transition Partnership atau JETP guna mempercepat pengerjaan sejumlah proyek potensial hingga 2030 mendatang.
Head of Climate Finance & Innovation PCC Dipak Patel mengatakan, Afrika Selatan mendapat porsi hibah mencapai 4 persen dari keseluruhan komitmen pendanaan JETP senilai US$8,5 miliar setara dengan Rp127,33 triliun (asumsi kurs Rp14.980 per dolar AS).
“Presiden kami sudah sangat jelas dengan mitranya di International Partners Group [IPG], bahwa porsi dari hibah itu mesti dinaikan lebih besar,” kata Patel saat konferensi pers di Jakarta, Selasa (27/6/2023).
Sementara itu, alokasi hibah dan technical assistant JETP untuk Indonesia masing-masing hanya di kisaran US$160 juta setara dengan Rp2,39 triliun.
Secara keseluruhan dana yang sebagian besar diperuntukkan untuk persiapan proyek itu hanya mencapai sekitar US$320 juta setara dengan Rp4,79 triliun atau tidak lebih dari 1,59 persen dari keseluruhan komitmen pendanaan JETP yang disanggupi sebesar US$20 miliar atau setara dengan Rp299,74 triliun.
Menurut Patal, kebutuhan dana untuk Indonesia bakal relatif rumit jika dibandingkan dengan Afrika Selatan. Misalkan, usia operasi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) di Indonesia terbilang muda jika dibandingkan dengan Afrika Selatan.
Baca Juga
Situasi itu, kata Patal, membuat harga kompensasi pensiun dini PLTU di Indonesia bakal relatif lebih mahal saat ini. Apalagi, menurut dia, rata-rata usia operasi PLTU di Indonesia berada di kisaran 12 tahun.
“Dengan demikian, pertanyaan kunci yang bisa diajukan saat ini adalah bagaimana kalian akan mengompensasi itu semua [pensiun dini PLTU],” kata dia.
Kendati demikian, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Dadan Kusdiana mengatakan, pemerintah masih bernegosiasi untuk mengamankan porsi pendanaan murah transisi energi dari pakta iklim Amerika Serikat dan Jepang bersama rekanan lainnya tersebut.
“Kalau hibah di angka US$160 juta, technical assitant kisarannya sekitar itu juga, nanti ada yang pasti US$10 miliar pinjaman komersial, rate-nya [bunga] belum tahu sampai sekarang,” kata Dadan saat ditemui di Jakarta, Selasa (276/20230).
Seperti diketahui pakta iklim yang tergabung ke dalam kemitraan JETP itu sempat berjanji untuk menyediakan dana himpunan US$20 miliar setara dengan Rp299,74 triliun dari publik dan swasta selama 3 hingga 5 tahun mendatang untuk pemerintah Indonesia.
Skema pendanaan JETP itu terdiri atas US$10 miliar yang berasal dari komitmen pendanaan publik dan US$10 miliar dari pendanaan swasta yang dikoordinatori oleh Glasgow Financial Alliance for Net Zero (GFANZ), yang terdiri atas Bank of America, Citi, Deutsche Bank, HSBC, Macquarie, MUFG, dan Standard Chartered.
Adapun, kemitraan JETP yang dipimpin AS-Jepang ini, termasuk di dalamnya negara anggota G7 lainnya, yakni Kanada, Inggris, Prancis, Jerman, dan Italia, serta juga melibatkan Norwegia dan Denmark.
“Sebagian hibah itu masuknya di dalam pengerjaan feasibility study, itu masuknya begitu, kan angkanya US$150-an juta, nggak bakalan cukup untuk danai proyek,” kata Dadan.