Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Khudori

Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) dan Komite Pendayagunaan Pertanian (KPP)

Lihat artikel saya lainnya

OPINI : Sensus Pertanian dan Pupuk Subsidi

Merujuk kajian Ombudsman RI (2021), ada lima potensi malaadministrasi dalam tata kelola pupuk bersubsidi.
Petani beraktivitas di lahan persawahan di kawasan Teluk Naga, Kabupaten Tangerang, Banten, Senin (17/1/2022). Bisnis/Fanny Kusumawardhani
Petani beraktivitas di lahan persawahan di kawasan Teluk Naga, Kabupaten Tangerang, Banten, Senin (17/1/2022). Bisnis/Fanny Kusumawardhani

Bisnis.com, JAKARTA - Sensus Pertanian (ST) 2023 memasuki minggu ketiga. Helatan akbar Badan Pusat Statistik (BPS) yang dimulai 1 Juni itu baru selesai 31 Juli 2023, mencakup 7 subsektor (tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, perikanan, peternakan, kehutanan, dan jasa pertanian). ST 2023 diharapkan bisa jadi landasan yang valid dalam perumusan kebijakan di bidang pertanian karena data adalah hulu setiap kebijakan. Data yang baik yang jadi dasar membuat kebijakan, output kebijakan akan baik. Sebaliknya, data sampah akan berujung kebijakan sampah. Inilah pentingnya kebijakan berbasis bukti (evidence based policy).

Selain sebagai dasar merumuskan kebijakan, data juga bisa dimanfaatkan untuk analisis dan rekomendasi kebijakan, formulasi perencanaan, dan evaluasi kebijakan. Selain memotret perubahan struktur pertanian Indonesia 10 tahun terakhir, ST 2023 akan menyediakan kerangka sampel bagi survei-survei di antara dua sensus buat pengumpulan data statistik pertanian yang lebih terperinci, dan menyediakan data sebagai benchmark dan rekonsiliasi statistik pertanian yang ada.

ST 2023 mengadopsi teknologi informasi dan komunikasi termutakhir, termasuk teknologi geospasial yang dapat menghasilkan data akurat meliputi pelaku usaha pertanian by name by address berikut volume usaha, baik luasan lahan maupun lokasi usaha. Dengan basis data yang bisa dijadikan sebagai dasar untuk menyelesesaikan berbagai persoalan yang masih membelit sektor pertanian, seperti subsidi sarana produksi pertanian yang tidak tepat. Dari semua subsidi sarana produksi yang diberikan saat ini, yang amat penting adalah subsidi pupuk.

Selain anggaran yang besar (rerata Rp25 triliun per tahun), problematika pupuk bersubsidi adalah soal efektifitas subsidi, baik dalam penyaluran maupun hasil produksi. Sayangnya, ketika anggaran subsidi pupuk terus naik dalam satu dekade terakhir ternyata tidak diikuti peningkatan produksi pangan.

Merujuk kajian Ombudsman RI (2021), ada lima potensi malaadministrasi dalam tata kelola pupuk bersubsidi. Pertama, kriteria detail petani penerima pupuk bersubsidi tidak dituangkan dalam peraturan, dalam hal ini Peraturan Menteri Pertanian. Kedua, data petani penerima pupuk bersubsidi tidak akurat. Data petani penerima pupuk bersubsidi dikumpulkan setiap tahun dengan proses lama tetapi berujung tidak akurat.

Ketiga, akses bagi petani untuk memperoleh pupuk bersubsidi serta permasalahan transparansi proses penunjukan distributor dan pengecer resmi terbatas. Keempat, mekanisme penyaluran pupuk bersubsidi belum selaras dengan asas penyelenggaraan pelayanan publik dan prinsip enam tepat: tepat jenis, tepat jumlah, tepat harga, tepat tempat, tepat waktu, dan tepat mutu. Kelima, mekanisme pengawasan pupuk bersubsidi belum efektif. Dari lima persoalan yang disigi Ombudsman, titik krusial sejatinya ada pada satu hal: masalah data. Dalam konteks itu, data ST 2023 bisa jadi opsi perbaikan tata kelola.

Untuk memperbaiki tata kelola pupuk bersubsidi, pertama-tama harus dimulai dari sasaran subsidi: petani seperti apa yang berhak menerima pupuk subsidi? Merujuk Permentan No. 10/2022 tentang Tata Cara Penetapan Alokasi dan Harga Eceran Tertinggi Pupuk Bersubsidi Sektor Pertanian, penyaluran pupuk bersubsidi ditujukan untuk seluruh petani yang mampu memenuhi persyaratan. Yakni petani yang tergabung di kelompok tani, terdaftar di SIMLUHTAN, menggarap lahan maksimal dua hektare, dan menggunakan Kartu Tani (untuk wilayah tertentu). Petani bisa menebus pupuk bersubsidi di kios-kios resmi yang ditentukan untuk melayani kelompok tani setempat.

Persyaratan ini, di satu sisi, amat longgar alias kurang detail. Apakah hanya petani pemilik atau termasuk petani penggarap dan penyewa? Apa mencakup semua usaha tani? Dalam regulasi baru, dua jenis pupuk bersubsidi (ZA dan NPK) hanya buat sembilan komoditas: padi, jagung, kedelai, cabai, bawang merah, bawang putih, tebu rakyat, kakao, dan kopi. Pembatasan sembilan komoditas ini tentu tidak adil bagi petani yang mengusahakan komoditas di luar itu. Di sisi lain, luas diketahui bahwa hanya sebagian kecil petani tergabung dalam kelompok tani dan terdaftar di SIMLUHTAN. Syarat ini, lagi-lagi, tak adil bagi petani.

Dihadapkan pada situasi seperti ini, salah satu rekomendasi para guru besar IPB University untuk transformasi kebijakan pupuk subsidi (2021) patut ditimbang: secara bertahap mengalihkan anggaran subsidi pupuk ke instrumen lain: subsidi harga pangan pokok, direct income, dan mendukung subsistem agribisnis (irigasi, SDM petani, ICT, asuransi, dan yang lain). Jika langkah ini yang dipilih, diperlukan grand design jangka pendek dan jangka panjang untuk proses pengalihan. Grand design itu harus didasarkan pada data-data mutakhir dan valid. Data geospasial ST 2023 bisa menjadi batu pijak awal untuk memulai. Secara berkala, data dasar ini bisa dimutakhirkan sesuai kebutuhan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Khudori
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper