Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Dugaan Tarik-menarik Kepentingan di Balik Molornya Pajak Natura

Aturan teknis pajak natura yang tak kunjung diterbitkan berpotensi menimbulkan tax dispute atau sengketa pajak di kemudian hari
Ilustrasi pajak natura atau pajak kenikmatan atas fasilitas kantor yang diberikan kepada karyawan. Dok. Freepik
Ilustrasi pajak natura atau pajak kenikmatan atas fasilitas kantor yang diberikan kepada karyawan. Dok. Freepik

Bisnis.com, JAKARTA – Aturan teknis terkait pajak natura belum juga diterbitkan oleh Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan. Kalangan pemerhati pajak menduga adanya tarik-menarik kepentingan antara pemerintah dengan pengusaha.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 55/2022 yang terbit akhir tahun lalu, karyawan diwajibkan menghitung dan membayar sendiri Pajak Penghasilan (PPh) terutang atas natura dan kenikmatan yang diterima dari perusahaan sepanjang 2022. Sementara itu, mulai 1 Januari 2023, perusahaan wajib memotong secara langsung atas PPh atas imbalan natura atau kenikmatan yang diberikan kepada karyawan.

Akan tetapi, implementasi tersebut dibayangi ketidakpastian lantaran aturan teknis yang mengatur secara rinci terkait objek pajak baru itu belum ditentukan. Mulai dari natura yang dikecualikan dari objek pajak, hingga tata cara penilaian natura. 

“Kemungkinan besar ada tarik-menarik antara pemerintah dengan pengusaha sehingga aturan pajak atas natura ini molor,” ujar Peneliti Perpajakan Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar kepada Bisnis, Minggu (11/6/2023).

Padahal, kata Fajry, dampak penerapan pajak natura bagi penerimaan tidak begitu signifikan. Dia mengkalkulasi potensi penerimaan bersih dari pajak natura hanya Rp1,6 triliun. Adapun dampak bagi penerimaan akan sangat bergantung pada batasan natura yang akan dikenakan.  

“Semenjak awal kami melihat jika tujuan awal dari pajak natura adalah untuk memberikan keadilan, mengingat sebagian besar penerima manfaat dari natura adalah kelompok berpendapatan tinggi,” pungkasnya.

Direktur Eksekutif Pratama Kreston Tax Research Institute Prianto Budi Saptono menambahkan bahwa aturan teknis yang tak kunjung diterbitkan akan berpotensi menimbulkan tax dispute atau sengketa pajak di kemudian hari. 

Musababnya, hingga saat ini belum ada petunjuk teknis yang diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan tentang bagaimana pemberi kerja melakukan pemotongan, sementara pajak atas natura atau kenikmatan sudah berlaku sejak 2022 sebagaimana diatur dalam PP No.55/2022.

“Kondisi di atas berpotensi tax dispute di kemudian hari ketika Ditjen Pajak melakukan pemeriksaan pajak untuk tahun pajak 2022 dan 2023. Pemeriksa pajak dapat mengenakan pajak atas imbalan natura atau kenikmatan,” kata Prianto.

Di sisi lain, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Dwi Astuti mengatakan bahwa aturan teknis terkait pemajakan natura masih dalam tahap harmonisasi dengan kementerian/lembaga terkait lainnya.

“Penerbitan peraturan perundang-undangan memerlukan proses meaningful participation dan harmonisasi yang melibatkan banyak pihak, tidak hanya internal Ditjen Pajak dan Kemenkeu tapi melibatkan juga kementerian/lembaga lainnya, instansi ataupun asosiasi terkait,” tuturnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper