Bisnis.com, JAKARTA – Anggota Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun mendorong transparansi dan akuntabilitas pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam melakukan pencatatan dan pengelolaan utang negara.
Misbakhun mengatakan bahwa neraca dalam laporan keuangan pemerintah selama ini tidak mencatat keseluruhan utang. Padahal, ada utang yang memberikan risiko pada APBN dan keuangan negara, salah satunya utang BUMN.
“Kenapa kita perlu menghitung semua utang? Karena untuk memitigasi risiko gagal bayar harus dimulai dari sistem pencatatan,” katanya dalam diskusi Indef yang disiarkan melalui Twitter, Selasa (6/6/2023).
Dia menyampaikan bahwa utang pemerintah saat ini yang berjumlah Rp7.849,8 triliun per April 2023 berisiko melonjak karena ada utang yang tidak dicatat. Seharusnya, utang BUMN juga diakui pemerintah sesuai dengan sistem akuntansi pemerintahan yang disepakati International Financial Accounting Standard (IFRS).
Menurut politisi Golkar itu, risiko sebagai pemegang saham, utang BUMN oleh pemerintah digolongkan sebagai contingent debt. Namun, dengan alasan sebagai kekayaan negara yang dipisahkan, maka utang BUMN tidak dicatat sebagai risiko dalam pencatatan utang pemerintah.
“Istilah keuangan negara dipisahkan sebenarnya dalam pengelolaan, tapi tidak dalam risiko. Contoh, dalam kasus BUMN yang dipailitkan seperti pabrik kertas Leces, Merpati, kertas Basuki Rahmat, atau lainnya, pemerintah bertanggung jawab penuh dan menggunakan skema APBN,” jelasnya.
Baca Juga
Hal yang sama kata dia terjadi pada kasus Jiwasraya yang mendapat suntikan dari APBN sebesar Rp20 triliun, sehingga mempengaruhi postur belanja APBN melalui mekanisme penyertaan modal negara (PMN).
“Sama dengan kasuss BUMN Garuda yang gagal membayar leasing di PKPU. Itu juga tidak tergambar sebelumnya di neraca APBN, hanya tergambar kita punya modal sekian triliun di Garuda. Sementara, pengeluaran PMN itu digunakan untuk membayar BUMN yang bangkrut, itu membayar utang tapi dicatat sebagai PMN,” kata Misbakhun.
Selain utang BUMN, dia menyampaikan bahwa dana pensiun PNS juga seharusnya dicatat dan dicadangkan. Pemerintah selama ini hanya mencadangkan kewajiban-kewajiban yang jatuh tempo.
“Beban langsung bulanan pensiun dikeluarkan, tetapi tidak pernah dicadangkan sebelumnya. Padahal, kalau tidak disediakan mekanismenya, hal itu akan terus menjadi beban APBN,” tuturnya.
Dia menambahkan, hingga saat ini Komisi XI DPR RI tidak pernah menemukan konsepsi-konsepsi keuangan terkait hal-hal di atas. Misbakhun menilai kebutuhan untuk mengubah cara pencatatan utang sangat mendesak, terutama terkait dana pensiun, bagaimana metode dan perhitungannya. Jika dana pensiun terjadi gagal bayar, maka yang menanggung adalah APBN.
“Pemerintah harus mengambil keputusan politik, yakni penting untuk memperbaiki cara kita mencatat. Dari itu, kita akan tahu berapa persen rasio dan risiko utang. Manfaatnya risiko gagal bayar bisa diantisipasi baik di BUMN, surat utang negara, dan dana pensiun,” tegasnya.