Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia atau APVI menilai bahwa pemerintah perlu membedakan pengaturan antara rokok elektrik dengan rokok konvensional, karena para pelaku usaha menilai adanya perbedaan risiko dari kedua jenis produk.
Ketua APVI Aryo Andriyanto menjelaskan bahwa usulan pembedaan pengaturan itu berdasarkan kepada profil risiko rokok elektrik dengan rokok konvensional. Pembedaan itu menurutnya memungkinkan konsumen dan masyarakat umum memiliki pemahaman jelas tentang risiko masing-masing produk.
"Permintaan kami bukanlah untuk menghindari pengaturan dan pengawasan terhadap rokok elektrik, tetapi untuk memperoleh kerangka regulasi yang membedakan antara rokok elektrik dan rokok konvensional," ujar Aryo melalui keterangan resmi, Rabu (17/5/2023).
Asosiasi juga menyoroti ketentuan mengenai produk hasil tembakau, mencakup rokok elektrik, yang tercantum dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan omnibus law. Dalam pasal 154 RUU itu produk hasil tembakau tergolong sebagai zat adiktif, sejajar dengan zat seperti alkohol, psikotropika, dan narkotika.
Aryo menyatakan bahwa para pelaku usaha rokok elektrik menolak RUU tersebut, terutama pengklasifikasian sebagai zat adiktif. APVI bahkan menilai bahwa pengklasifikasian itu sebagai kesalahan besar.
"Alasan utama penolakannya ini adalah adanya rumusan yang dinilai tidak tepat dan berpotensi menciptakan kebingungan di kalangan konsumen," katanya.
Baca Juga
APVI menyatakan akan bekerja sama dengan pemerintah untuk mengembangkan standar kualitas dan memberikan edukasi yang tepat kepada masyarakat terkait produk rokok elektrik. Aryo juga menyebut bahwa para pelaku usaha mengharapkan dialog pemahaman mengenai produk rokok elektrik demi menjaga keberlanjutan industri.
Asosiasi menilai bahwa keputusan akhir mengenai pengaturan produk rokok elektrik, baik melalui RUU Kesehatan maupun perangkat kebijakan lainya akan sangat memengaruhi industri dan para penggunanya.