Bisnis.com, JAKARTA — Presiden Joko Widodo atau Jokowi disebutkan bakal memfinalkan proposal limited free trade agreement (FTA) mineral kritis asal Indonesia saat bertemu dengan Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G7 di Hiroshima, Jepang pada 19 Mei-21 Mei 2023 mendatang.
Kepastian itu disampaikan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan selepas melanjutkan negosiasi limited FTA ke Amerika Serikat pada pertengahan April 2023 lalu.
Kunjungan kerja saat itu juga dibarengi dengan pertemuan dengan Ford Motor Company dan Tesla Inc. ihwal kelanjutan rencana investasi pada penghiliran mineral kritis di Indonesia tahun ini.
“Kita lagi bicarakan final untuk limited FTA ini, makanya di G7 Presiden [Jokowi] dan Biden akan coba upayakan kerja sama bilateral, di bawah kami sudah sepakat harus ada upaya mencari solusi,” kata Luhut saat ditemui di Jakarta, Selasa (9/5/2023).
Adapun, pengajuan limited FTA itu menjadi penting bagi Indonesia untuk meloloskan sejumlah turunan mineral kritis dalam negeri agar mendapat insentif kendaraan listrik dan energi baru terbarukan (EBT) yang saat ini diatur dalam Undang-Undang Pengurangan Inflasi atau Inflation Reduction Act (IRA).
Kendati demikian, Luhut mengatakan, pemerintah AS belakangan terlihat tergantung pada kebutuhan impor mineral kritis dari Indonesia untuk meningkatkan kapasitas produksi mereka sebanyak sebelas kali lipat hingga 2030 mendatang.
Baca Juga
“Amerika juga dilema, karena kalau tidak impor dari kita, mereka butuh hampir 800.000 ton nikel kalau dia membuat 11 kali lipat jumlah produksinya tahun ini sampai 2030, dan itu hampir setengahnya dari Indonesia,” kata dia.
Situasi itu, kata dia, membuat pemerintah AS cenderung berpikir untuk menimbang memberikan limited FTA kepada Indonesia untuk mengamankan pasokan mineral kritis tersebut mendatang. Hanya saja, kedua negara masih membahas sejumlah skema yang bisa diambil terkait dengan limited FTA tersebut.
“Limited FTA itu bukan hanya kita yang sulit, kita masih bisa ekspor ke negara lain, mereka yang akan kesulitan, mereka sadar sekarang, makanya kami kontak lagi dengan Amerika, kita cari solusi bagaimana win-win,” tuturnya.
Seperti diketahui, sejumlah komitmen investasi pada penghiliran mineral kritis dan batu bara di Indonesia belakangan batal dilaksanakan akibat daya tarik IRA yang kuat bagi investor global.
Misalkan, Air Products & Chemical Inc (APCI) belakangan menarik komitmen investasi mereka sebesar US$2,1 miliar atau setara dengan Rp30 triliun untuk pengembangan gasifikasi batu bara menjadi DME bersama dengan PT Bukit Asam Tbk. (PTBA) di Muara Enim, Sumatra Selatan awal tahun ini.
Selain itu, APCI lewat usaha patungan bersama dengan PT Bakrie Capital Indonesia Group dan PT Ithaca Resources, PT Air Products East Kalimantan (PT APEK), juga menarik investasi mereka sebesar Rp33 triliun untuk proyek hilirisasi batu bara menjadi metanol dari kesepakatan bersama dengan anak usaha PT Bumi Resources Tbk. (BUMI), Kaltim Prima Coal (KPC).
Saat itu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif membeberkan mundurnya APCI dari proyek hilirisasi batu bara di Indonesia disebabkan karena paket insentif dan subsidi EBT yang ditawarkan pemerintah dianggap kurang menarik.
“Air Product merasa di Amerika Serikat lebih menarik bisnisnya jadi dia ke sana, dengan adanya subsidi untuk EBT jadi ada proyek yang lebih menarik untuk hidrogen, Amerika lagi mendorong pemakaian itu,” kata Arifin saat ditemui di Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat (17/3/2023).
Malahan, kata Arifin, sejumlah komitmen investasi pengembangan EBT di beberapa negara Eropa turut susut akibat Undang-Undang Penurunan Inflasi Amerika Serikat tersebut. “Itu yang menyebabkan investor banyak lari ke sana (Amerika Serikat),” kata dia.
Sebelumnya, Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia sekaligus Asean Business Advisory Council (Asean-BAC) Arsjad Rasjid mendesak pemerintah Amerika Serikat untuk berlaku adil dalam pemberian subsidi hijau bagi mineral kendaraan listrik.
Arsjad menilai negatif sikap diskriminatif AS terhadap mineral kritis asal Indonesia yang tertuang pada paket subsidi untuk teknologi hijau.
Adapun, pemerintah AS tengah menyusun pedoman kredit pajak bagi produsen baterai dan kendaraan listrik di bawah Undang-Undang Pengurangan Inflasi atau IRA beberapa pekan ke depan.
Undang-Undang itu mencakup US$370 miliar subsidi untuk teknologi energi bersih. Namun, baterai yang mengandung komponen sumber Indonesia dikhawatirkan tetap tidak memenuhi syarat untuk kredit pajak IRA secara penuh.
Alasannya, Indonesia belum memiliki perjanjian perdagangan bebas dengan AS dan dominasi perusahaan China dalam industri hulu bijih nikel.
“Kami berupaya memastikan memiliki portofolio inklusif, baik China maupun non-China dalam sektor pertambangan nikel guna mencapai kesepakatan perdagangan yang adil dan saling menguntungkan,” kata Arsjad seperti dikutip dari siaran resmi, Kamis (6/4/2023).