Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah memutuskan untuk menunda penetapan bea keluar ekspor komoditas hasil olahan bijih nikel kadar tinggi yang rencananya efektif berlaku pada tahun ini. Keputusan itu diambil setelah pemerintah mempelajari tren pelandaian harga nikel yang masih berlanjut hingga pertengahan 2023.
Deputi Bidang Investasi dan Pertambangan Kemenko Marves Septian Hario Seto mengatakan, penerapan pajak progresif untuk ekspor turunan nikel kadar tinggi, seperti nikel pig iron (NPI), feronikel (FeNi) hingga nikel matte menjadi tidak relevan ketika harga nikel di pasar internasional jatuh cukup dalam saat ini.
“Kalau untuk rencana bea keluar kita hold dulu ya karena kondisi pasarnya sekarang lagi cukup menantanglah,” kata Seto kepada Bisnis, Minggu (7/5/2023).
Seto mengatakan, penurunan harga olahan nikel kadar tinggi itu disebabkan karena kondisi pasokan yang cukup tinggi beberapa waktu terakhir. Sementara itu, tren permintaan terlihat stagnan yang akhirnya mengoreksi harga pada kontrak pengiriman sejak awal tahun ini.
Di sisi lain, kata Seto, kementeriannya tengah menggeser fokus pembahasan pada rencana pembentukan indeks nikel Indonesia untuk mengantisipasi fluktuasi harga di pasar internasional seperti saat ini.
Rencananya, indeks nikel itu bakal mengambil fungsi yang mirip seperti harga batu bara acuan (HBA) yang diterapkan untuk komoditas batu bara di dalam negeri. Dengan demikian, harga olahan nikel kadar tinggi dari Indonesia dapat lebih transparan untuk diawasi dan dibandingkan dengan harga di pasar dunia.
Baca Juga
“Indeks ini kan kelas dua nikel ya kita kan banyak, kalau LME [London Metal Exchange] itu kan kelas satu. Saya kira lebih transparan untuk perdagangannya segala macam nanti terkait dengan perpajakannya kan bisa kelihatan nanti dengan indeks harganya,” tuturnya.
Seperti diketahui, rencana penerapan pajak progresif untuk turunan nikel kadar tinggi itu sempat menguat pada awal 2022 lalu. Saat itu, harga nikel sempat mencatatkan kenaikan tertinggi selama lebih dari 1 dekade setelah adanya permintaan signifikan untuk industri kendaraan listrik dan energi baru terbarukan (EBT).
Selang setahun, harga nikel justru mengalami tren penurunan yang cukup dalam pada paruh pertama tahun ini. Emiten nikel PT Vale Indonesia Tbk. (INCO) berharap penurunan harga nikel hanya sesaat dan bisa bertahan di atas US$20.000 per ton.
Mengutip data LME, harga nikel untuk kontrak 3 bulan tercatat turun 3,01 persen ke US$23.997 per ton sampai dengan Kamis (4/5/2023). Sepanjang 2023 berjalan, harga nikel LME sudah turun sekitar 29,80 persen dari posisi US$31.150 di awal tahun.
Presiden Direktur INCO Febiany Eddy mengatakan, penurunan harga nikel yang terjadi saat ini masih dalam batas wajar, dan umumnya penurunan harga komoditas akan mempengaruhi harga sahamnya.
"Tapi kita tidak melihat penurunan harga itu sifatnya permanen. Kita masih berharap bahwa level harga nikel di atas US$20.000, itu masih wajar dengan memperhatikan kondisi pasar saat ini. Jadi mungkin kalau turun hanya turun sesaat, tidak trennya turun terus menerus dalam waktu yang lama," katanya dalam konferensi pers, Jumat (5/5/2023).
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengatakan, rencana penerapan pajak ekspor progresif untuk turunan nikel kadar tinggi menjadi suatu keharusan untuk meningkatkan nilai tambah hilirisasi mineral strategis tersebut.
Selain itu, jumlah investasi dan pabrik pengolahan nikel kadar tinggi juga relatif tinggi saat ini. Arifin berharap kebijakan itu nantinya ikut melanjutkan proses industrialisasi dan investasi baru pada sisi yang lebih hilir dari nikel kadar tinggi tersebut. Sembari, kata dia, menjaga cadangan nikel tersebut yang relatif makin tipis saat ini.
“Karena kapasitas [produksi] kita juga sudah kebanyakan, nilai tambahnya kecil kita harus selalu angkat lagi lah,” kata Arifin saat ditemui di Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat (5/5/2023).