Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

GAPKI Tak Sepakat dengan Kebijakan Deforestasi Uni Eropa: Rugikan Petani!

GAPKI mengatakan kebijakan Uni Eropa yang memberlakukan Undang-undang antideforestasi akan merugikan ekspor produk sawit.
Ketua Umum  Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indoneusa (GAPKI) Eddy Martono di Istana Wakil Presiden, Rabu (12/4/2023). JIBI/Bisnis- Akbar Evandio
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indoneusa (GAPKI) Eddy Martono di Istana Wakil Presiden, Rabu (12/4/2023). JIBI/Bisnis- Akbar Evandio

Bisnis.com, JAKARTA – Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Eddy Martono menegaskan bahwa kebijakan Uni Eropa  (UE) yang memberlakukan Undang-undang antideforestasi atau EU Deforestation Regulation (EUDR) akan merugikan ekspor produk sawit ke UE.

Dia pun berharap agar pemerintah turut menjadi penengah dalam memberikan solusi, mengingat sawit merupakan pemasukan negara tertinggi khususnya pada 5 tahun terakhir dan sawit merupakan simbol kejayaan ekspor negara Indonesia. 

“Kami intinya begini, [kebijakan] itu bisa tidak bisa dihadapi oleh GAPKI sendiri, tetapi harus bersama dengan Pemerintah untuk mengatasi [kebijakan] itu, utamanya karena merugikan sawit rakyat,” katanya kepada Bisnis, Rabu (12/4/2023).

Menurutnya, masyarakat atau petani sawit yang paling dirugikan dengan adanya kebijakan tersebut. Mengingat untuk pengusaha tersendiri pengusaha telah memiliki moratorium izin perkebunan kelapa sawit. 

Untuk diketahui, pemerintah telah menerapkan kebijakan moratorium sawit selama 3 tahun. Melalui Instruksi Presiden No. 8/2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit Serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit, yang berakhir pada 19 September 2021.

“Jadi, kalau pengusaha itu kan sudah ada moratorium dari yang utama setelah 2018—2019 itu sama sekali tidak boleh. Nah, kebijakan deforestasi Eropa ini kan ada batas waktu hingga 31 Desember 2020. Nah, kalau perusahaan saya pastikan tidak ada 2020 yang buka [lahan] baru karena sudah tidak ada yang keluar izin, sedangkan rakyat misalnya yang karet, konversi tumbang karetnya diganti sawit. Nah, mereka kena,” paparnya.

Kendati demikian, dia melanjutkan bahwa kebijakan tersebut juga tak hanya merugikan petani sawit tetapi juga perusahaan. Mengingat perusahaan membeli produk dari petani.

“Penting juga diingat bukan berarti perusahaan tidak kena, karena perusahaan juga kena karena kami kan menerima buah dari masyarakat dalam rangka membantu menyejetahrakan masyarakat,” pungkas Eddy.

Untuk diketahui, Pada awal 2019, Eropa menerbitkan Delegated Regulation yang merupakan turunan dari Renewable Energy Directive II (RED II), di mana kelapa sawit dianggap sebagai komoditas berisiko tinggi terhadap perusakan hutan atau dikenal dengan deforestasi atau indirect land-use change (LUC).

Selanjutnya, Komisi Uni Eropa sudah menyetujui untuk memberlakukan Undang-undang anti-deforestasi pada 6 Desember 2022 lalu. Ketentuan ini akan mengatur dan memastikan konsumen di Uni Eropa (UE) untuk tidak membeli produk yang terkait deforestasi dan degradasi hutan di mana salah satu pasalnya mengelompokkan sawit sebagai tanaman berisiko tinggi.

Undang-undang tersebut berlaku untuk sejumlah komoditas, antara lain minyak kelapa sawit, ternak, coklat, kopi, kedelai, karet dan kayu. Ini juga termasuk beberapa produk turunan, seperti kulit, cokelat, dan furniture.

Indonesia mencanangkan sawit berkelanjutan melalui sertifikasi ISPO (Indonesia Sustainable Palm Oil) sejak tahun 2011 dan dilanjutkan dengan Rencana Aksi Nasional Kelapa Sawit Berkelanjutan (RAN-KSB) tahun 2019. Kemudian semua pelaku usaha tani baik korporasi maupun petani sawit diwajibkan memiliki ISPO melalui Perpres Nomor 44 Tahun 2020 Tentang Sistem Sertifikasi ISPO.

Dalam peraturan ISPO sebelumnya hanya korporasi yang diwajibkan (mandatory), sementara petani sawit tadinya hanya sukarela (voluntary). Demikian juga dengan sertifikasi RSPO yang sudah cukup banyak diadopsi oleh korporasi.

Mengingat sawit merupakan pemasukan negara tertinggi dalam 5 tahun terakhir, dan sawit merupakan simbol ekspor negara Indonesia, wajar jika pemerintah sangat serius dengan upaya sawit berkelanjutan ini. Dengan demikian, Uni Eropa tidak perlu menerbitkan EUDR. 

Penyebabnya, EUDR juga sudah terakomodir melalui Undang-Undang Cipta Kerja dan bahkan sangat tegas dalam pola ruang peruntukan pemanfaatan lahan.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Akbar Evandio
Editor : Nancy Junita
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper