Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Juky Mariska

Wealth Management Head Bank OCBC NISP

Lihat artikel saya lainnya

OPINI : Kenali Risiko Investasi

Pastikan untuk mengetahui profil risiko Anda sebelum berinvestasi. Anda dapat mengoptimalkan imbal hasil dan mengendalikan risiko dengan strategi investasi.
Ilustrasi investasi/Freepik
Ilustrasi investasi/Freepik

Bisnis.com, JAKARTA - Pada pertemuan di bulan Januari, Presiden The Fed Jerome Powell, menyatakan bahwa upaya bank sentral sejauh ini dinilai sukses dalam menekan tingkat inflasi dan terbukti dari rilisan data terakhir yang menunjukkan penurunan ke 6,4% year-on-year (YoY) pada Januari 2023, sedikit meleset dibandingkan dengan perkiraan analis di level 6,2%.

Solidnya sektor ketenagakerjaan masih menjadi salah satu faktor tingginya inflasi di Amerika Serikat. Tingkat pengangguran berhasil mencatatkan rekor terendah dalam 53 tahun terakhir di level 3,4%. Penurunan angka pengangguran ini disebabkan oleh jumlah ketersediaan lapangan pekerjaan yang kini lebih besar dibandingkan jumlah pencari kerja sehingga mendorong perusahaan berlomba untuk memberikan upah yang lebih tinggi untuk menarik minat calon pekerja.

Namun, para pelaku pasar kini melihat potensi bank sentral AS untuk menaikkan suku bunga acuan dua kali lagi di bulan Maret dan Mei, masing-masing sebesar 25 bps. Selain itu, rilisan data pertumbuhan ekonomi di kuartal IV/2022 juga dirilis di atas ekspektasi di level 2,9%, menambah sentimen positif pasar di awal tahun 2023. Dari sisi laporan keuangan korporasi, pada minggu pertama Februari, 69% dari perusahaan yang terdaftar di indeks acuan S&P500 telah melaporkan laba di atas ekspektasi, tetapi masih berada di bawah level pencapaian rata-rata lima tahun terakhir di 77 persen.

Mayoritas perusahaan yang telah melaporkan juga mengatakan bahwa 2023 menjadi tahun yang lebih menantang bagi dunia usaha. Namun, inflasi yang mulai melandai, pembukaan kembali ekonomi China, hingga menurunnya probabilitas resesi global turut mendorong penguatan pasar saham global di awal tahun ini.

Beralih ke kawasan Eropa, yang juga mencatatkan penguatan cukup signifikan di bulan Januari lalu, di tengah aksi bargain hunting investor. Sentimen di Eropa juga didukung oleh normalisasi harga energi, yang sebelumnya merupakan salah satu kekhawatiran utama investor. Perang antara Rusia dan Ukraina masih berlanjut, namun dampaknya terhadap pasar keuangan terlihat makin rendah. Dari sisi kebijakan moneter, bank sentral Eropa dan Inggris sepakat untuk kembali menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 bps pada pertemuan bulan lalu, di mana kedua bank sentral ini kembali menyampaikan komitmen untuk meredam kenaikan inflasi, yang mulai menunjukkan penurunan laju kenaikan di akhir tahun lalu.

Sementara itu, pasar saham Asia, seperti yang terlihat dari indeks MSCI Asia Pacific juga mencatatkan penguatan yang signifikan bulan Januari lalu, dengan kenaikan sebesar 7,8%. Pembukaan kembali ekonomi China menjadi penyokong utama bagi aset berisiko di kawasan Asia, sebagai ekonomi nomor dua terbesar di dunia yang mulai mengadopsi kebijakan Living with Covid. Hong Kong, sebagai pusat keuangan terkemuka di Asia turut melonggarkan kebijakan karantina dan perjalanan lintas batas sejak awal tahun 2023, sehingga menjadikan jalur Hong Kong—China lebih mudah diakses setelah terisolasi selama 3 tahun terakhir.

Secara fundamental, Indonesia terus menunjukkan pemulihan yang baik, bahkan beberapa data mencatatkan perkembangan yang lebih baik dari ekspektasi. Data inflasi yang terakhir dirilis menunjukkan penurunan dari angka 5,51% ke 5,28% YoY, di bawah ekspektasi 5,40%. Sementara itu, inflasi inti pun juga turun dari 3,36% ke 3,27%. Rilisan tersebut berhasil meningkatkan optimisme pelaku pasar terhadap kondisi perekonomian Indonesia, walaupun belum tecermin pada pergerakan pasar saham. Aktivitas manufaktur yang diukur melalui PMI Manufacture mencatatkan kenaikan dari 50,9 ke 51,3. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi kuartal empat 2022 juga dirilis di atas ekspektasi di 5,01% vs 4,92%. Secara keseluruhan, ketahanan ekonomi Indonesia terlihat cukup baik di awal 2023, dengan proyeksi pemerintah untuk pertumbuhan ekonomi 2023 berada di rentang 4,9%—5,3% (Sumber: Bank Indonesia).

Akan tetapi optimisme terhadap perekonomian tidak berhasil mendorong IHSG untuk mengikuti , jejak penguatan bursa saham lainnya. Indeks terlihat bergerak relatif flat, dengan pelemahan tipis sebesar 0,16% di tengah penguatan aset berisiko global. Namun, hal ini tidak terlalu mengejutkan mengingat pasar saham Indonesia masih berhasil mencatatkan penguatan sepanjang 2022, tidak seperti bursa saham global lainnya. Secara sektoral, sektor teknologi dan konsumsi siklikal memimpin pelemahan bursa, turun 4,75% dan 3,49%.

Investor asing melanjutkan aksi jualnya bulan lalu, mencatatkan penjualan bersih senilai US$182,11 juta. Para pelaku pasar mengharapkan agar pasar saham domestik untuk dapat mencatatkan penguatan tahun ini, didorong oleh peningkatan konsumsi dan sentimen tahun politik yang akan dimulai di semester kedua nanti. Namun, patut diingat bahwa sektor komoditas, yang sebelumnya merupakan salah satu penopang utama pasar saham di 2022, diperkirakan akan mulai kehilangan daya tariknya di tengah normalisasi harga komoditas.

Kinerja pasar saham yang kurang mendukung di bulan Januari tersebut membuat pasar obligasi lebih menarik pada awal 2023 ini. Imbal hasil acuan 10 tahun turun ke level 6,7% di akhir Januari. Reli yang terjadi pada obligasi pemerintah AS, US Treasury, didorong oleh melunaknya proyeksi kenaikan suku bunga Fed. Hal ini menjadi katalis bagi pasar obligasi domestik, terlebih lagi, penguatan mata uang rupiah yang sempat menyentuh di bawah Rp15.000 per dolar AS juga menjadi salah satu faktor utama yang membuat aset pendapatan tetap Indonesia menjadi atraktif. Investor asing juga berkontribusi pada penguatan pasar obligasi, mencatatkan pembelian bersih senilai US$4,125 miliar sepanjang Januari. Kami melihat prospek pasar obligasi akan cukup baik untuk semester pertama tahun ini, seiring dengan potensi berhentinya siklus kenaikan suku bunga, inflasi yang mulai melandai, stabilitas rupiah, dan imbal hasil yang tinggi dibandingkan negara berkembang lainnya.

Melihat penjabaran kondisi perekonomian baik dalam maupun luar negeri, tentunya akan memengaruhi volatilitas pada pasar keuangan. Bagi Anda yang sedang merencanakan investasi, pastikan untuk mengetahui profil risiko Anda sebelum berinvestasi. Anda dapat mengoptimalkan imbal hasil dan mengendalikan risiko dengan melakukan strategi investasi seperti alokasi aset dalam portofolio keuangan, diversifikasi hingga dollar cost averaging.

Tak hanya menentukan strategi investasi, kita pun perlu mengeksekusi strategi tersebut. Membuat keputusan investasi di tengah situasi yang kurang kondusif tentunya tidak mudah, apalagi jika mulai berinvestasi dengan cara tradisional, di mana kita perlu datang mengunjungi bank terdekat atau membutuhkan proses tatap muka secara langsung. Namun, dengan kemajuan teknologi, tentunya hal ini makin dipermudah. Tentunya, investor juga perlu memilih bank dengan reputasi dan kredibilitas yang baik, yang juga diatur dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Pertimbangkan untuk berinvestasi melalui bank yang dapat menyediakan layanan investasi terintegrasi dengan transaksi keuangan harian untuk memudahkan transaksi pembelian investasi yang dipilih.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Juky Mariska
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper