Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rafael Alun hingga Eko Darmanto, Pelayan Publik yang Terseret Pusaran Flexing

Sederet pejabat Kemenkeu terseret pusaran flexing kekayaan yang menyebabkan turunnya kepercayaan publik.
Mario Dandy Satrio berpose di depan Jeep Rubicon. /Instagram @_broden
Mario Dandy Satrio berpose di depan Jeep Rubicon. /Instagram @_broden

Bisnis.com, JAKARTA – Seberapa sering kita pamer atau flexing di media sosial? Entah memamerkan kekayaan, seperti barang-barang bermerek, atau bahkan pencapaian karir? 

Pada 1899, seorang ekonom sekaligus sosiolog asal Amerika Serikat, Thorstein Veblen, menuangkan pemikirannya terkait cara manusia meningkatkan status sosial melalui pola konsumsi, yang didorong oleh keinginan untuk memperlihatkan kekuasaan dan posisinya. 

Pemikiran Veblen tertuang dalam buku ‘The Theory of the Leisure Class: An Economic Study in the Evolution of Institutions’. Teori itu kian relevan dengan kondisi sekarang, ketika media sosial muncul sebagai wadah yang mampu mengamplifikasi status seseorang dari unggahannya.

Pertanyaannya, seberapa banyak orang saat ini berlomba-lomba mendapatkan iPhone terbaru, mobil mewah edisi terbatas, atau pakaian trendi keluaran teranyar, yang kemudian dipamerkan – dengan sengaja atau tidak – di media sosial?

Itu pula yang terjadi pada kasus Mario Dandy dan Eko Darmanto. Sebagai anak pejabat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dengan kekayaan Rp56,1 miliar, Mario kerap memamerkan kekayaan di media sosial, mulai dari menunggangi Harley-Davidson hingga Jeep Rubicon. 

Begitu pun dengan Eko Darmanto. Kepala Kantor Bea Cukai Yogyakarta ini juga kerap memamerkan koleksi motor gede atau moge hingga mobil antiknya di media sosial. 

Keinginan Mario dan Eko untuk flexing kekayaan di media sosial bisa dikatakan sebagai upaya mendapatkan pengakuan status dari sekitar. Sebuah manifestasi yang gagal diselamatkan oleh asas kepantasan dan kepatutan keluarga ataupun pelayan publik. 

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengingatkan bahwa Aparatur Sipil Negara (ASN) sudah patut dan selayaknya mengedepankan etika. Hal ini, katanya, bukan sesuatu yang berlebihan karena kepercayaan masyarakat bertalian erat dengan tingkah dan gaya hidup pejabat publik.

“Jadi, meskipun itu dapatnya dari uang halal, dapat beli dari gaji, dan ‘bu saya kepingin rileks’. Ya sudahlah, rileksnya sekarang tidak usah naik motor gede, jalan kaki saja sama saya muter-muter di Senayan itu sehat,” ujarnya dalam satu diskusi publik, Selasa (28/2/2023).

Etika Pemerintah

Dalam buku berjudul ‘Etika Pemerintahan: Norma, Konsep, dan Praktek Etika Pemerintahan’ disebutkan bahwa etika pemerintahan mengacu pada kode etik profesional, khusus bagi mereka yang bekerja dan untuk pemerintahan. 

Etika tersebut setidaknya melibatkan aturan dan pedoman tentang panduan bersikap dan berperilaku bagi sejumlah kelompok dalam lembaga pemerintahan, termasuk para pemimpin terpilih, seperti presiden dan menteri, anggota DPR, staf politik, hingga pelayan publik. 

Dalam konteks ini, terdapat nilai-nilai keutamaan yang sepatutnya dimiliki oleh pelayan publik. Satu dari beberapa nilai tersebut adalah kesederhanaan dan pengendalian diri. Hal yang patut dilakukan, baik oleh pejabat publik maupun staf pegawai pemerintahan. 

Akan tetapi, dalam kasus yang ramai akhir-akhir ini, etika tersebut seolah hilang. Eko Darmanto dengan mudahnya bisa mengunggah swafoto di depan pesawat terbang, yang belakangan pesawat itu diketahui milik Federasi Aero Sport Indonesia (FASI). 

Mario Dandy – anak Pegawai Negeri Sipil (PNS) Ditjen Pajak, Rafael Alun Trisambodo – juga tidak kalah flexing. Melalui akun TikToknya, pemuda 20 tahun ini tak sedikit membagikan video berisi kegiatannya saat mengendarai moge. 

Pun dengan Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo yang terlihat mengendarai sebuah motor besar bersama dengan pejabat DJP lainnya yang tergabung dalam Belasting Rijder. Setelah viral, Sri Mulyani kemudian meminta klub moge itu bubar. 

Sederet kasus flexing tersebut, seperti yang diucapkan oleh Sri Mulyani, pelan tapi pasti mulai mengikis kepercayaan masyarakat. Publik lantas mempertanyakan akuntabilitas Kementerian Keuangan yang bertugas sebagai pengelola uang negara. 

Direktur Eksekutif Segara Institute Piter Abdullah menilai bahwa kasus yang ramai beberapa waktu ini memiliki potensi untuk mengganggu kredibilitas Kemenkeu. 

Hal senada juga disampaikan oleh Manajer Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar. Menurutnya, kasus yang menyeret nama Mario hingga ayahnya, Rafael Trisambodo, berisiko membuat masyarakat enggan membayar pajak. Mengingat kepercayaan publik merupakan faktor kunci untuk meningkatkan kepatuhan pajak. 

“Apakah kasus itu berpengaruh terhadap kemauan masyarakat membayar pajak? Pasti, apalagi ini bulan-bulan lapor surat pemberitahuan tahunan [SPT]. Cuma seberapa besar?” ujar Fajry.

Kemenkeu Berbenah

Langkah tegas kemudian dilakukan Kementerian Keuangan untuk meredam kekecewaan masyarakat dan persepsi negatif yang muncul atas sederet kejadian di atas. 

Mula-mula, Sri Mulyani dalam konferensi pers pekan lalu, memutuskan untuk mencopot Rafael Alun Trisambodo dari tugas dan jabatannya sebagai Kepala Bagian Umum di salah satu Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak di Jakarta. 

Kementerian Keuangan juga telah menolak surat pengunduran diri Rafael Trisambodo yang diterima Inspektorat Jenderal Kemenkeu sejak 27 Februari lalu.

Pengunduran diri ditolak karena Rafael masih menjalani pemeriksaan terkait dengan kepemilikan harta Rp56,1 miliar dan sederet kendaraan mewah lainnya. 

Berdasarkan Pasal 5 Peraturan BKN No. 3/2020 tentang Petunjuk Teknis Pemberhentian PNS, permintaan berhenti ditolak jika dalam pemeriksaan pejabat yang berwenang diduga melakukan pelanggaran disiplin PNS.

Selain itu, dalam konferensi pers kemarin, Rabu (1/3/2023), Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara menginstruksikan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk mencopot Eko Darmanto dari posisi Kepala Kantor Bea Cukai Yogyakarta. 

Dia pun meminta Inspektorat Jenderal Kemenkeu untuk melakukan investigasi lebih lanjut atas perilaku Eko, serta kecocokan harta, SPT pajak, dan utang dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). 

Dalam mengurai persoalan tersebut, Kementerian Keuangan menjalin kerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berkaitan dengan pengawasan pegawai Kemenkeu, serta status harta yang tak sesuai dengan LHKPN.

Seluruh tindakan tersebut dilakukan semata-mata untuk meraih memulihkan kepercayaan publik yang mulai tergerus. Seperti yang diucapkan oleh Sri Mulyani, Kemenkeu tidak akan menyerah dan berjanji meraih kepercayaan publik kembali. 

“Kepercayaan publik harus kami bangun dan raih kembali dengan terus bekerja tekun, kompeten, dapat diandalkan, dan jujur. Kami terus fokus menjalankan tugas, memperbaiki cara kerja, melayani masyarakat, mendengar masukan mereka untuk perbaikan. Kami terus meningkatkan akuntabilitas dan transparansi karena uang negara adalah amanah rakyat,” ucapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Halaman
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper