Bisnis.com, JAKARTA - Rokok elektrik atau lebih dikenal masyarakat sebagai vape adalah suatu alat yang berfungsi seperti rokok tetapi tidak menggunakan ataupun membakar daun tembakau, melainkan mengubah cairan menjadi uap yang dihisap oleh perokok ke dalam paru-parunya.
Rokok elektrik umumnya mengandung nikotin, zat kimia lain, serta perasa/flavour dan bersifat toksik/racun. Di pasaran, rokok elektronik kerap disebut dengan rokok elektrik, vapour, vape, e-cig, e-juice, e-liquid, personal vaporizer (pv), e-cigaro, electrosmoke, green cig, smartsmoke, dan smartcigarette.
Rokok elektrik terdapat dalam berbagai bentuk ukuran dan terdapat 3 (tiga) komponen utama yaitu baterai, elemen pemanas dan tabung yang berisi cairan (e-liquid). Komposisi yang tertera dalam cairan mengandung nikotin, vegetable glycerin, propylene glycol dan penambah rasa. Rokok elektrik bekerja dengan cara memanaskan cairan e-liquid yang ada di dalam tabung. Ketika tombol power pada device ditekan, maka kawat akan menyala layaknya api pada ujung rokok dan menghasilkan uap seperti asap yang mengandung zat seperti nikotin, vegetable glycerin, propylene glycol serta penambah rasa dimana pengguna mengisap zat tersebut langsung dari corongnya.
Kehadiran rokok elektrik atau vape makin populer di kalangan anak muda. Hal ini terjadi dikarenakan rokok elektrik dianggap dapat menjadi pengganti kebiasaan merokok. Ada yang menganggap bahwa uap yang dihasilkan oleh rokok elektrik hanya uap air biasa sehingga tidak membahayakan bagi kesehatan. Ada juga yang menganggap bahwa rokok elektrik lebih aman dan lebih sehat dibandingkan dengan rokok konvensional. Meskipun demikian, The United States Food and Drugs Administration (FDA) belum menyatakan bahwa rokok elektrik aman dan efektif dalam membantu seseorang untuk berhenti merokok. Lebih lanjut, FDA menjelaskan bahwa kandungan di dalam cairan rokok elektrik sama dengan rokok konvensional yaitu nikotin.
Nikotin merupakan zat kimia yang terdapat dalam rokok konvensional. Selain itu, di dalam cairan rokok elektrik terdapat kandungan zat perasa dan zat kimia lain yang digunakan untuk menghasilkan aerosol. Nikotin yang terkandung dalam rokok elektrik bersifat adiktif. Hal ini mengakibatkan ketergantungan untuk tetap menggunakan rokok elektrik sebagai pengganti rokok konvensional. Tak hanya itu, perisa yang ada dalam cairan rokok elektrik juga menyumbang bahaya bagi kesehatan penggunanya. Sebagai contoh, penggunaan sakarida dalam cairan rokok elektrik yang menghasilkan furan dan aldehida ketika dipanaskan. Furan dan aldehida bersifat karsinogenik (memicu kanker) dan aldehida juga dapat menyebabkan iritasi pada saluran pernapasan.
Vape telah membuat setidaknya 19 orang meninggal dunia dengan lebih dari 1.000 kasus penyakit paru-paru menurut media di Amerika Serikat pada tahun 2019. Vaping Associated Pulmunory Injury (VAPI) di Amerika Serikat merupakan penyakit paru-paru yang disebabkan oleh vape dan telah ditetapkan sebagai epidemi. Fenomena tersebut mendorong munculnya kelompok masyarakat yang menuntut pelarangan peredaran vape.
Baca Juga
Rokok elektrik berisi cairan yang mengandung nikotin. Para ahli setuju bahwa rokok elektrik mengandung zat berbahaya yang lebih sedikit karena tidak mengandung tar dan karbon monoksida. Tetapi bukan berarti rokok jenis ini tidak berbahaya. Beberapa bahaya yang bisa ditimbulkan dari konsumsi rokok elektrik antara lain, dapat menyebabkan kerusakan otak, asma, masalah paru-paru, kerusakan DNA, infeksi, dan beragam penyakit lainnya seperti kanker perut, kanker kandung kemih, kanker esofagus, penyakit jantung, dan masalah pernapasan seperti emfisema.
Kementerian Kesehatan menyebutkan bahwa mengonsumsi rokok elektrik dapat menyebabkan Popcorn Lung. Popcorn Lung adalah kondisi saluran udara di paru-paru mengecil sehingga menyebabkan batuk dan napas pendek. Cairan rokok elektronik mengandung penambah rasa “diasetil”. Zat tersebut ditambahkan ke dalam makanan untuk menghasilkan rasa mentega. Zat ini lebih berbahaya jika dipanaskan dan dihirup. Menghirupnya dalam waktu lama menyebabkan penyakit paru (Bronchiolitis Obliterans). Meskipun hingga saat ini, dampak penggunaan rokok elektrik masih cukup kontroversial, sebaiknya para perokok memperhatikan apa yang terkandung dalam cairan rokok elektrik yang mereka hirup.
Kekosongan Hukum Aturan Rokok Elektrik
Berdasarkan data survei Global Adult Tobacco Survey (GATS) tahun 2021, jumlah pengguna rokok elektrik di Indonesia yang berusia 15 tahun meningkat dari 0,3% (480 ribu orang) pada tahun 2011 menjadi 3% (6,6 juta orang) pada tahun 2021. Ada sejumlah faktor yang berpotensi memicu lonjakan pengguna rokok elektrik, diantaranya beredar banyak iklan rokok elektrik khususnya di sosial media dan kemudahan akses untuk mendapatkannya.
Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan oleh Indonesian Youth Council for Tobacco Control (IYCTC), sudah ada 40 negara yang melarang rokok elektrik mulai dari impor produk, penjualan produk dan cairannya serta penggunaannya. Selain itu, sudah terdapat 65 negara yang sudah membuat regulasi terkait rokok elektrik. Dapat dikatakan bahwa Indonesia tertinggal dalam upaya pencegahan korban zat adiktif yang bisa didapatkan dari rokok baik konvensional maupun elektrik. Hingga saat ini, Pemerintah masih berupaya melakukan upaya amandemen PP 109 Tahun 2012 dengan memasukkan muatan materi rokok elektrik mulai dari peredaran dan konsumsi rokok elektrik, pelarangan iklan dan juga menambahkan pelarangan penjualan rokok batangan.
Jika dibandingkan dengan regulasi rokok elektrik di negara lain seperti Singapura, penjualan produk tembakau apapun jenisnya telah dilarang. Di Singapura, merokok diartikan sebagai menghirup dan mengeluarkan asap tembakau atau zat lain. Di negara ini, rokok elektrik disamaratakan dengan keberadaan rokok konvensional, karena dianggap mirip mengandung bahan yang sama yaitu nikotin. Di dalam Undang-Undang Tembakau (Kontrol Iklan dan Penjualan) TCASA, Pasal 16 ayat 1 dan 2 terdapat larangan untuk mengimpor, memperjualbelikan hingga mengonsumsinya. Sanksi yang didapatkan jika melanggar bisa berupa denda $10.000 atau penjara 6 bulan.
Negara Singapura memang sangat ketat terkait dengan pengaturan mengenai rokok baik konvensional maupun e-cigarette, dikarenakan pandangan akan bahaya yang ditimbulkan oleh rokok dan dampaknya bagi masyarakat. Dengan melihat regulasi di Asia Tenggara khususnya Singapura, seharusnya dapat menjadi pertimbangan bagi Indonesia dalam membuat regulasi mengenai rokok elektrik terutama yang berkaitan dengan dampak kesehatan bagi penggunanya.
Perlindungan Konsumen terhadap Dampak Negatif Rokok Elektrik
Merujuk pada Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999, sistem perlindungan konsumen terdiri atas konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah. Pemerintah memiliki peran yang sangat penting dalam menciptakan ekosistem perlindungan konsumen yang menjamin keamanan dan kenyamanan konsumen dalam bertransaksi maupun dalam mengonsumsi barang dan/jasa. Berkaitan dengan perlindungan atas dampak negatif penjualan, peredaran, dan konsumsi rokok elektrik, terdapat beberapa rekomendasi kebijakan yang bisa menjadi masukan dan pertimbangan Pemerintah melalui Kementerian/Lembaga terkait.
Pertama, Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan perlu membuat peraturan menteri terkait importasi, perizinan dan rokok elektrik sebagai pengganti Peraturan Menteri Nomor 86 Tahun 2017 tentang Ketentuan Impor Rokok Elektrik yang sebelumnya sudah dicabut dalam Peraturan Menteri Nomor 5 Tahun 2020 tentang Pencabutan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 86 Tahun 2017. Pengawasan penjualan rokok elektrik baik dalam ritel offline maupun online juga perlu ditingkatkan.
Kedua, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang memiliki fungsi penyusunan dan pelaksanaan kebijakan nasional di bidang pengawasan obat dan makanan perlu melakukan pengawasan dan uji bahan rokok elektrik dan kandungan e-liquidnya serta melakukan pengawasan mutu produk pada saat sebelum sampai dengan sesudah distribusi. Ketiga, Kementerian Kesehatan perlu mewajibkan pelaku usaha rokok elektrik untuk mencantumkan pesan kesehatan pada kemasan produk dalam revisi PP 109/2012. Peringatan pesan tersebut tidak berukuran kecil, namun dapat mencontoh negara lain seperti Singapura dan Australia. Kementerian Kesehatan juga perlu meningkatkan program sosialisasi dan edukasi tentang bahaya rokok elektrik.
Keempat, untuk menjamin keamanan produk, Kementerian Perindustrian perlu memberlakukan penerapan SNI No. 9070:2022 tentang Cairan Sigaret Elektrik secara wajib oleh pelaku usaha, dan melakukan sosialisasi atas SNI wajib tersebut agar dipahami dan dipenuhi dengan baik oleh pelaku usaha. Terakhir, untuk mengatasi kekosongan hukum terkait pengaturan rokok elektrik, revisi PP 109/2012 perlu dipercepat. Percepatan revisi PP 109/2012 sekaligus penyusunan kebijakan di masing-masing Kementerian/Lembaga terkait perlu didorong oleh Badan Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Kesehatan, dan Badan POM.