Bisnis.com, JAKARTA - Digitalisasi menjadi tumpuan bagi Desa Detusoko Barat, Ende, Nusa Tenggara Timur (NTT), sehingga mampu memberdayakan usaha rakyat berbasis pertanian terpadu dan ekowisata di tengah pandemi Covid-19.
Hal itu diungkapkan Ferdinandus Watu, yang sejak 2020 menjabat sebagai Kepala Desa Detusoko Barat, saat ditemui oleh tim Bisnis Indonesia yang berkesempatan menyambangi kantor desanya, Selasa (1/11/2022).
Didukung dengan akses teknologi informasi, Nando, sapaan akrab Ferdinandus Watu, menggerakkan kaum muda yang lebih melek internet untuk memanfaatkan layanan digital dalam mengoptimalkan pemasaran produk pangan hasil desa dan ekopariwisata melalui Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).
“Jadi, kami berkolaborasi dengan anak-anak yang sudah SMA, bahkan sudah kuliah dan tinggal di sini untuk mendukung BUMDes kami,” kata Nando.
Di bawah pimpinan Nando, desa yang berada di kaki Gunung Kelimutu itu mengembangkan BUMDes Au Wula dengan dua unit usaha yakni perdagangan dan pariwisata. Keduanya kini telah memiliki platform digital.
Kepala Desa Detusoko Barat Ferdinandus Watu memberikan pemaparan saat wawancara dengan Bisnis Indonesia di Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur, Selasa (1/11/2022)/JIBI/Bisnis/Suselo Jati.
Unit usaha perdagangan pada awalnya menggunakan lapak dari dapurkita.bumdesmart.id. untuk memasarkan produk petani Desa Detusoko Barat saat pandemi Covid-19 melanda.
Pada awal 2021, pasar yang dilayani BUMDes Au Wula semakin berkembang dan mulai menjangkau kabupaten tetangga, yakni Sikka dan Nagekeo, bahkan ke kabupaten lainnya.
Unit Dapur Kita kemudian bertransformasi dengan platform mandiri menjadi pasarflores.id. Dengan platform ini, BUMDes Au Wula kini tidak hanya memasarkan produk pangan dari wilayah Kecamatan Detusoko saja melainkan juga membantu sektor pertanian di berbagai Kabupaten lain. Secara total, kata Nando, pasarflores.id telah berkolaborasi dengan 60 petani dengan pelanggan yang sudah mencapai 500-an orang.
“Sehingga sayurnya tidak harus dari Detusoko. Misalnya, bagaimana teman-teman di Maumere bisa menjual sayurnya juga bahkan sampai Sabu Raijua. Jadi kami memperluas,” ungkapnya.
Sementara di sektor pariwisata, BUMDes Au Wula memiliki decotour.bumdeswisata.id. Platform ini menyediakan sejumlah paket ekowisata kepada para pelancong dari dalam dan luar negeri.
Alhasil, Desa Detusoko Barat berhasil masuk dalam daftar 50 besar desa wisata terbaik di ajang Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI) 2021 lantaran dianggap berhasil mengembangkan potensi pertanian dan pariwisata berbasis alam dengan mengoptimalkan teknologi informasi.
Namun, cerita berbeda datang di sisi lain Gunung Kelimutu. Mama Maria, seorang perajin tenun ikat dari Desa Mbulilo’o, Kecamatan Wolowaru, Kabupaten Ende, NTT, mengaku kesulitan untuk menjajakan produk kerajinannya dengan harga yang layak. Tak hanya akses pasar, wanita berusia 63 tahun ini juga kesulitan untuk mendapatkan modal usaha.
“Kami sekarang susah untuk mendapatkan uang. Sudah tidak ada modal lagi. Mau pinjam uang juga tidak bisa. Semua sama-sama susah karena Covid-19. Hanya ini harapan mama dari pemerintah. Tolong bantu kami,” kata mama Maria kepada Bisnis, Rabu (2/11/2022).
Maria (kanan), perajin tenun khas Ende-Lio, beserta suami menyelesaikan pembuatan kain tenun ikat Ende Lio di Desa Mbulilo’o, Ende, NTT, Rabu (2/11/2022)/JIBI/Bisnis/Suselo Jati
Pemanfaatan layanan digital untuk pemasaran dan pembiayaan belum menjadi pilihan Mama Maria. Padahal, Desa Mbulilo’o yang merupakan salah satu area penyangga Danau Kelimutu merupakan area yang terjangkau layanan internet. Sayangnya, pemanfaatan teknologi digital masih jauh dari pemahamannya.
“Bukan mama tidak mau. Mama tidak tahu online. Mama pegang HP, hanya jika ada anak yang menelepon. Itu saja yang mama tau. Kalau mereka mau mengajar, mama mau. Tapi mama tidak tau [gunakan] HP ini. Bagaimana? Mama mau tau dari mana?” kata Mama Maria.
Digitalisasi dan Pendampingan
Kondisi yang dihadapi Mama Maria itu tentunya masih menjadi tantangan umum yang dihadapi oleh pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Tanah Air. Faktor sumber daya manusia (SDM) masih menjadi salah satu tantangan dalam pengembangan UMKM khususnya terkait adaptasi teknologi.
Ekonom dan Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan komposisi SDM di UMKM yang masih didominasi oleh generasi X dan bahkan baby boomers menjadi salah satu faktor yang menantang bagi adaptasi teknologi. Padahal, jelas dia, digitalisasi menjadi aspek penting untuk memperluas pasar dan mengakses pembiayaan atau modal bagi pengembangan usaha.
Tersendatnya adaptasi teknologi pada UMKM ini menjadi sebuah tantangan di samping ketersediaan bahan baku yang terjangkau di tengah tren peningkatan inflasi dan juga minimnya inovasi produk agar bisa bersaing dari sisi harga dan kualitas produk.
“Tantangannya masih soal sumber daya manusia. Meski ada digitalisasi, tapi tetap sebagian besar UMKM kan masih didominasi oleh generasi X dan baby boomers sehingga masih agak lambat untuk adaptasi teknologinya,” jelasnya kepada Bisnis, Selasa (28/2/2023).
Bhima mengakui akses kepada pembiayaan juga masih menjadi kendala bagi UMKM. Menurutnya, masih cukup banyak UMKM yang mengandalkan pendanaan dari keluarga atau kerabat dekat. Bahkan, sebagian UMKM masih meminjam dana dari rentenir.
Padahal, jelas dia, cukup banyak UMKM yang telah memiliki pencatatan atau pembukuan yang teratur dan sebenarnya bisa mengajukan pembiayaan dari sektor formal, khususnya perbankan. Namun, dia mengakui, masih banyak UMKM yang kesulitan mengakses pembiayaan lantaran pelaporan keuangan dan barang tidak tertata dengan baik.
“Ini menjadi tantangan, dari segi pembiayaan. Itu yang perlu dibenahi terlebih dahulu,” tegasnya.
Oleh karena itu, Bhima menilai masih banyak pelaku UMKM yang membutuhkan pendampingan baik dari sisi adaptasi teknologi dan pemanfaatannya sehingga layak untuk mengakses pembiayaan dari perbankan dan mengembangkan usahanya.
Pendampingan tersebut menjadi langkah urgen. Pasalnya, UMKM yang menjadi salah satu motor pertumbuhan ekonomi, berpotensi tumbuh signifikan pada 2023 seiring dengan pembukaan aktivitas ekonomi masyarakat setelah Pandemi Covid-19 melanda. “UMKM butuh pendampingan untuk hal itu,” ungkap Bhima.
Sejumlah tantangan yang dihadapi dalam pengembangan UMKM itu juga diakui oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani. Menurutnya, UMKM masih memiliki banyak pekerjaan rumah dan salah satunya terkait dengan akses pembiayaan perbankan kepada pelaku usaha mikro.
“Dari lebih dari 45 juta [UMKM] yang belum memadai pembiayaannya, ada 18 juta yang belum sama sekali mendapatkan pembiayaan dan 5 juta masih melalui rentenir atau berarti very high cost. Hanya sedikit yang menikmati subsidies lending yang dibiayai pemerintah,” jelasnya dalam gelaran BRI Microfinance Outlook 2023, di Jakarta, Kamis (26/1/2023).
Pemberdayaan UMKM Melalui UMi
Sri Mulyani pun berharap UMKM bisa diberdayakan, terutama oleh PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. yang bersama dengan PT Pegadaian (Persero) dan PT Permodalan Nasional Madani (Persero) atau PNM tergabung dalam holding ultra mikro (UMi).
Dengan pemberdayaan, Sri Mulyani berharap kualitas dan produktivitas UMKM dapat didorong sehingga mampu meningkatkan kesejahteraannya.
“Kita titipkan PT PNM [Permodalan Nasional Madani] dan PT Pegadaian ke BRI supaya mesin BRI lebih kuat dalam meningkatkan pembiayaan UMKM dan pemberdayaan. Tidak hanya membiayai, [tapi] memberdayakan bukan memperdayakan,” tegasnya.
Harapan Menkeu kepada holding UMi yang diinisiasi oleh Kementerian BUMN sejak September 2021 itu memang pantas diberikan. Pasalnya, ketiga entitas tersebut memiliki potensi sumber daya yang sangat besar. BRI Group kini memiliki jaringan di seluruh Indonesia yang meliputi 6.500 mikro outlet, 3.600 outlet PNM dan 4.000 outlet Pegadaian, serta diperkuat lebih dari 530.000 Agen BRILink.
Holding UMi bahkan mampu mencatatkan jumlah nasabah terintegrasi sebanyak 23,5 juta per akhir Agustus 2022 dengan total outstanding pembiayaan telah mencapai Rp183,9 triliun. Tak hanya menyalurkan pembiayaan, holding juga berkomitmen untuk meningkatkan pemberdayaan, sehingga mendorong peningkatan skala usaha pelaku bisnis di segmen ultra mikro.
Melalui PNM, holding menjangkau masyarakat melalui mekanisme group lending. Selain itu, pendampingan turut dilakukan dengan upaya memasukkan masyarakat unbankable ke dalam sistem layanan jasa perbankan. Setelah layak secara komersial, nasabah diberi pilihan akses permodalan melalui Pegadaian atau mengambil pinjaman ke BRI.
“Setelah itu kami dorong mereka untuk naik kelas dan kami ikuti perjalanannya secara sistematis melalui sistem. Holding UMi ini juga sumber dana murah karena nasabah yang disasar bertransaksi, meski uangnya cuma Rp1–Rp2 juta mereka diajari untuk punya tabungan,” jelas Direktur Utama BRI Sunarso dalam keterangan tertulis, pada September 2022.
Terpisah, Direktur Bisnis Mikro BRI Supari menyampaikan bahwa perseroan berkomitmen mendukung inklusi keuangan Indonesia seiring dengan visi Champion of Financial Inclusion pada tahun 2025. Menurut Supari, upaya memacu inklusi serta literasi keuangan oleh emiten berkode saham BBRI ini akan berfokus pada 34,6 juta peminjam ultramikro dan mikro hasil holding antara BRI, PT Pegadaian, dan PNM.
“34,6 juta peminjam mikro dan ultramikro dari hasil holding itu adalah targeted segmen inklusi yang paling efisien untuk segera dilaksanakan di seluruh negeri ini, karena mereka sesungguhnya mewakili 81,9 persen dari masyarakat indonesia berpenghasilan rendah,” jelasnya.
Bhima Yudhistira menilai kehadiran holding UMi bisa memberikan pendampingan kepada pelaku UMKM agar mampu meningkatkan kapasitas usahanya. Pendampingan secara langsung yang didukung layanan digital akan mengoptimalkan pemberdayaan pelaku UMKM.
“BRI memang sudah memiliki pengalaman panjang untuk sektor mikro dan ultramikro. Namun, memang perlu untuk menggabungkan pendekatan yang sifatnya manual dan pendekatan digital tadi,” pungkasnya.