Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Produsen Baja Ungkap Alasan Masih Impor Bahan Baku

Bahan baku merupakan satu kesatuan yang terintegrasi dalam bentuk kebutuhan baja dari hulu ke hilir. 
Roll forming adalah proses pengrolan dingin dengan tujuan pembentukan suatu profil baja (lapis paduan zinc atau zinc & aluminium atau zinc, aluminium, dan magnesium) menjadi produk akhir seperti atap gelombang, genteng metal, rangka atap, rangka plafon dan dinding. /ARFI
Roll forming adalah proses pengrolan dingin dengan tujuan pembentukan suatu profil baja (lapis paduan zinc atau zinc & aluminium atau zinc, aluminium, dan magnesium) menjadi produk akhir seperti atap gelombang, genteng metal, rangka atap, rangka plafon dan dinding. /ARFI

Bisnis.com, JAKARTA — Perusahaan produsen baja mengeklaim masih melakukan impor untuk bahan baku dengan sejumlah alasan.

Direktur Utama PT Saranacentral Bajatama Tbk. (BAJA) Handaja Susanto mengatakana bahwa bahan baku produk baja yang diperlukan perseroan adalah Cold Rolled Coil. Persoalan bahan baku dinilainya sebagai kesatuan yang terintegrasi dalam bentuk kebutuhan baja dari hulu ke hilir. 

Dia tak memungkiri bahwa produk baja hilir masih dipenuhi oleh produk impor. Hal ini akan menyulitkan pengembangan industri dalam negeri di sektor hulu secara keseluruhan. Namun, secara periodik untuk menjaga kestabilan supply dan demand, serta kebutuhan spesifikasi produk tertentu, memang masih dibutuhkan produk impor dengan persentase yang tidak massif.

"Misal, bagi industri BAJA atau Galvalume, komposisi produk impor di pasar adalah sebesar 65 persen–70 persen," ujarnya, Selasa (14/2/2023).

Sementara itu, ironisnya utilisasi industri dalam negeri berada di kisaran 35 persen—40 persen 

Dia berpendapat industri dalam negeri dan khususnya BAJA siap bersaing dengan produk impor selama masih berada di level kualitas dan kapasitas yang sama.

"Patut menjadi catatan juga, sebagian besar produk impor yang masuk adalah produk di bawah spesifikasi di mechanical properties," terangnya. 

Dia menilai masih ada persoalan hal yang perlu dikaji lebih jauh adalah dengan melihat kebutuhan baja secara menyeluruh dari hulu ke hilir. Industri hilir masif dipenuhi produk impor yang di bawah spesifikasi, hal yang tidak dipahami sebagian pengguna akhir.

Kedua, dengan tingkat utilisasi hanya 35 persen–40 persen, maka kapasitas industri dalam negri cukup untuk memenuhi kebutuhan baja dalam negeri.

"Tapi yang menjadi pertanyaan adalah apakah kita sendiri akan konsisten mendukung industri dalam negeri," jelasnya.

Ketiga, yakni, dalam era globalisasi, industri dalam negeri siap untuk berkompetisi secara fair terutama dengan spesifikasi produk dan mechanical properties yang sama, karena sebenarnya hal inilah  yang  menjadi esensi penerapan SNI Wajib dengan misi untuk melindungi kepentingan pembeli.

Sementara itu, perusahaan  yang memproduksi lembaran baja yang terdiri dari pelat dan gulungan baja, PT Gunung Raja Paksi Tbk. (GGRP).

Direktur of Corporate Affairs Gunung Raja Paksi Fedaus menuturkan kebutuhan impor perseroan adalah bahan mentah yang dibutuhkan dalam produksi seperti besi scrap , Hot Briquette Iron (HBI), sebagai bahan baku proses steel making, dan sejumlah yang lainnya. Meski demikian, emiten berkode saham GGRP tersebut menyebut untuk material besi scrap, melakukan impor sebesar 10 persen-15 persen  dari bahan, sisanya cenderung untuk membeli dari  produsen lokal.

Namun memang, dia tak menampik bahwa kebutuhan dan pasokan dari produsen lokal masih terbatas.

"Sebagai  pabrik pengolahan baja, kami tidak impor produk baja jadi. Yang kami impor adalah produk baja semi jadi seperti Hot Rolled Coil atau HRC dengan ketebalan tertentu. Bahan ini kami pakai lagi untuk rolling menjadi Cold Rolled Coil atau CRC maupun jenis pipa, dan lainnya,” jelasnya.

“Saat ini kebutuhan baja dalam negeri berkisar 16 juta ton per tahun , dan kapasitas pasokan baja lokal baru sekitar 12 juta ton. Jadi memang masih ada gap di sini,” jelasnya, Jumat (10/2/2023).

Berdasarkan data dari Indonesia Iron and Steel Industry Association (IISIA),  produksi dalam negeri untuk bahan baku baja memang belum optimal. Kondisi tersebut lantaran mesin mesin produksi baja yang sudah lama sehingga hasil jadinya belum terlalu masif.

Selanjutnya, impor baja yang tidak dilakukan dengan benar sehingga harga murah , tidak bisa bersaing dengan produksi dalam negeri. Pasalnya, dalam proses tender, biasanya pengguna cenderung hanya melihat harga murah.

Persoalan lainnya adalah tingkat utilisasi pabrik baja nasional hanya 50 persen - 55 persen dari kapasitas terpasang.

Dengan melihat segala persoalan dalam negeri di atas, Fedaus mendukung inisiasi pemerintah dalam hal hilirisasi produk baja yang diharapkan juga bisa mendorong produk baja dalam negeri.

Menurutnya, Standardisasi seperti SNI dan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) menjadi hal yang penting bagi produksi baja dalam negeri. Dia juga melihat adanya kebutuhan ekspor produk baja yang rendah emisi karbon serta ramah lingkungan. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi industri baja dalam negeri. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper