Bisnis.com, JAKARTA — Perusahaan asal Eropa disebut tengah memetakan lokasi strategis untuk membangun pabrik prekursor baterai kendaraan listrik di Indonesia pada tahun ini.
Deputi Bidang Investasi dan Pertambangan Kemenko Marves, Septian Hario Seto, mengatakan perusahaan itu telah berkomitmen mengucurkan investasi ratusan juta dolar AS untuk membangun pabrik prekursor baterai kendaraan listrik tahun ini.
Pabrik yang mengolah lebih lanjut produk turunan dari mixed hydroxide precipitate (MHP), nikel sulfat dan kobalt itu ditarget dapat beroperasi komersial pada 2025.
“Kalau soal prekursor nggak lama sih kita akan punya itu karena dari Eropa satu investor sedang bikin di sini,” kata Seto kepada Bisnis, Jumat (10/2/2023).
Sementara itu, kata Seto, negosiasi antara Indonesia Battery Corporation (IBC) bersama dengan konsorsium mitra PT Ningbo Contemporary Brunp Lygend Co, Ltd (CBL) dan LG Energy Solution (LG) terkait dengan pembangunan pabrik lanjutan untuk baterai listrik masih berlanjut.
Belakangan LG diketahui ingin menarik diri dari komitmen pengerjaan prekursor, katoda, sel baterai hingga daur ulang dalam Proyek Titan yang menjadi bagian usaha patungan bersama IBC.
LG meminta rekanan mereka dalam konsorsium, Huayou Holding untuk melanjutkan investasi sebatas pada pembangunan smelter.
“Negosiasi [konsorsium CBL dan LG] masih berlanjut, sejauh ini masih,” ujarnya.
Dia memastikan investasi pada sisi penghiliran produk turunan MHP itu bakal beroperasi efektif pada 2025. Menurut dia, target itu menjadi krusial lantaran produksi kobalt domestik yang diperkirakan menyentuh di angka 20.000 ton pada akhir tahun ini.
Seperti diketahui, produksi kobalt di Indonesia diperkirakan sudah mencapai 10.000 ton sepanjang 2022. Laporan itu diterbitkan Badan Survei Geologi Amerika Serikat atau United States Geological Survey (USGS) pada periode Januari 2023.
Torehan itu naik 270,37 persen dari pencatatan sepanjang 2021 di level 2.700 ton. Peningkatan produksi kobalt itu menempatkan Indonesia berada di urutan kedua sebagai produsen mineral logam strategis tersebut setelah Kongo.
Sepanjang 2021, Kongo memproduksi kobalt sebanyak 119.000 ton yang sebagian besar diekspor untuk pembeli di China. Selanjutnya pada 2022, produksi kobalt Kongo menyentuh di angka 130.000 ton.
Di sisi lain, rekapitulasi sumber daya dan cadangan mineral logam semester I/2022 dari Badan Geologi Kementerian ESDM mengidentifikasi bijih kobalt terkira di Indonesia mencapai 449,08 juta ton. Sementara itu, cadangan terkira untuk logam kobalt ditaksir sebesar 231.768 ton.
Adapun, cadangan terbukti untuk bijih kobalt diidentifikasi mencapai 242,02 juta dengan kandungan logam di kisaran 258.746 ton.
“Karena proses HPAL yang sudah kita kembangkan dua tahun terakhir, menurut saya dua tiga tahun ke depan produksi kobalt kita harus lebih tinggi dari Kongo,” ujarnya.
Sementara itu, sebagian besar produk turunan nikel kadar rendah masih diekspor lantaran belum terbentuknya industri lanjutan di sisi hilir.
Berdasarkan catatan Kementerian Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves), torehan ekspor produk turunan bijih nikel telah menyentuh di angka US$33,81 miliar atau setara dengan Rp506,13 triliun, asumsi kurs Rp14.970 sepanjang 2022.
Ekspor nikel matte sepanjang tahun lalu sudah menembus di angka US$3,74 miliar atau setara dengan Rp56,34 triliun. Sementara itu, nilai ekspor MHP berhasil mencapai US$2,19 miliar atau setara dengan Rp32,78 triliun.
Adapun, produksi nikel matte dan MHP domestik itu secara keseluruhan dijual ke pasar China dengan nilai mencapai US$3,68 miliar atau setara dengan Rp55,08 triliun.
Sisanya, penjualan nikel matte dan MHP dilakukan untuk sejumlah pembeli potensial dari Jepang, Korea Selatan hingga Norwegia dengan total pembelian di kisaran US$1,91 miliar atau setara dengan Rp28,59 triliun.
CEO Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), Alexander Barus, mengatakan situasi itu terjadi lantaran belum siapnya industri anoda domestik untuk melanjutkan serapan turunan dari mix hydroxide precipitate (MHP) seperti nikel sulfat (NiSO4) dan Cobalt Sulfat (CoSO4).
“MHP kita masih ekspor karena kita belum olah di dalam negeri sampai ke sulfat ke packing menjadi sel, itu masih tahap satu setelah bijih nikel, karena siapa yang mau beli,” kata Alex saat ditemui di Jakarta Convention Center, Rabu (12/10/2022).
Dengan demikian, Alex menegaskan, nilai tambah dari kegiatan hilirisasi tambang nikel di Morowali sebagian besar justru terjadi di luar negeri. Dia meminta pemerintah untuk segera menggalakan pembangunan industri perantara hingga hilir untuk menyerap limpahan nikel hasil pemurnian tersebut.
“Sekarang kita produksi prekursor dan katoda tapi di dalam negeri tidak ada industri anodanya tetap saja harus ekspor, proses hilirisasi harus disambung dengan industri, baru nilai tambah kita dapatkan,” ungkap Alex.