Bisnis.com, JAKARTA — Indonesia masih memiliki ketergantungan impor terhadap segelintir komoditas pangan, misalnya kedelai, jagung pangan, daging lembu, gula, bawang putih, sampai gandum, bahkan beras. Namun, peluang menekan laju pertumbuhan impor masih ada dan begitu terbuka.
Deputi Bidang I Ketersediaan dan Stabilisasi Pangan Badan Pangan Nasional (Bapanas) I Gusti Ketut Astawa menjelaskan secara umum ada beberapa komoditas pangan yang persentase impornya bisa mulai ditekan dalam waktu dekat, misalnya jagung pangan.
"Jagung ada dua, kalau jagung pakan, kita surplus banyak, bahkan sudah diamanatkan supaya ekspor sebanyak 200.000 ton. Ini salah satu cara pemerintah untuk menjaga agar harga di tingkat petani bisa stabil. Nah, tapi dari sisi jagung pangan, kita masih impor karena masih ada tantangan," ujarnya dalam wawancara khusus dengan Bisnis, dikutip Selasa (7/2/2023).
Astawa menjelaskan bahwa kebutuhan jagung untuk konsumsi dan industri pangan sebenarnya bisa dipenuhi dari dalam negeri, asalkan memenuhi standar penanganan pascapanen untuk menekan kadar aflatoksin, terutama selama 6 jam selepas panen.
"Kendala kita, seperti di Sumbawa dan beberapa daerah produsen, biasanya pegunungan, naik-turun, sehingga pasti lebih dari 6 jam di jalan. Maka dari itu, harus didorong terus keberadaan infrastruktur pascapanen dan logistik untuk memperbesar jagung pangan," jelasnya.
Hal tersebut juga menjadi alasan Bapanas bersama stakeholder pemerintah terkait, membangun Teluk Santong Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Pelabuhan di lahan seluas 300 hektare ini menyedot investasi Rp1,4 triliun ini harapannya berguna mempercepat distribusi jagung ke luar Sumbawa.
Sementara untuk daging lembu, kedelai, dan bawang putih, Astawa menilai sebenarnya Indonesia punya peluang besar memperbesar produksi dalam negeri lewat bantuan teknologi, baik terkait rekayasa genetik, maupun peningkatan mutu, sehingga porsi impor bisa ditekan sedikit demi sedikit.
"Untuk sapi lokal, sudah ada buktinya rekayasa genetik unggul untuk sapi Bali, artinya tinggal mau terjun ke sana atau tidak. Bawang putih juga, ada negara lain yang sekarang bisa tanam, padahal sebelumnya tidak bisa [karena kondisi iklim], juga berkat teknologi. Artinya, idenya agar komoditas pangan lokal bisa bersaing itu memungkinkan, tetapi tentu tetap ada tantangannya," tambahnya.
Sementara itu, Rektor IPB University Arif Satria mengamini bahwa teknologi bisa menjadi kunci mengurangi impor, asalkan bukan hanya ditekankan dari sisi produksi saja, namun beriringan dengan afirmasi pemerintah atas subtitusi bahan baku, sehingga sisi konsumsi pun bisa dikendalikan.
"Teknologi sudah sangat beragam. Misalnya beras, kita mau bikin beras dari rumput laut sudah bisa, dari jagung bisa, dari sagu pun bisa. Tinggal didorong afirmasi, promosi, ciptakan industri dan pasarnya. Jadi dalam konteks mengurangi impor, selain membenahi sisi supply side, membenahi demand side juga penting," ujarnya dalam wawancara khusus dengan Bisnis beberapa waktu lalu.
Sebagai contoh, segelintir pangan berbahan dasar gandum dan tepung terigu sebenarnya sudah memiliki subtitusi dari bahan-bahan lokal. Sayangnya, keberagaman ini kurang mendapatkan perhatian dari sisi kebijakan.
Arif mengungkap kebijakan yang berpihak pada inovasi keberagaman bahan pangan pun sebenarnya tidak perlu sampai-sampai membatasi impor. Misalnya, adanya kebijakan rasio, supaya para stakeholder yang membutuhkan bahan baku impor mulai terbuka menjadi pasar produsen bahan baku pangan subtitusi.
"Sudah ada mi dan roti dari sukun, talas, atau singkong. Rasanya pun sama saja. Jadi diversifikasi ini yang perlu didorong oleh afirmasi pemerintah dengan membuat kebijakan rasio. Kalau seorang pengusaha impor gandum sebanyak X, maka dia harus juga membeli produk subtitusi dari dalam negeri sebanyak berapa persen dari X, misalnya dari tepung singkong berapa, tepung jagung berapa, dan lain-lain," tutupnya.