Bisnis.com, JAKARTA – Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menyampaikan bahwa saat ini situasi stagflasi dan resflasi tengah menghantui Amerika Serikat (AS) hingga Eropa. Terlihat dari inflasi yang melonjak di negara-negara tersebut, bahkan menyentuh dua digit di Inggris.
Perry mengatakan bahwa laju perekonomian memang akan mengalami perlambatan pada 2023 karena hantaman inflasi harga pangan dan energi global. Sementara negeri-negara tersebut terus mengerek suku bunga.
“Apakah bisa inflasi yang naik karena harga pangan energi diobati suku bunga? Yang terjadi adalah resesi dan inflasi, inflasi nggak turun-turun, ekonomi nyungsep, karena suku bunga tinggi. Itu yang terjadi resflasi, stagflasi, di Eropa, Inggris, Amerika, inflasi lama turunnya,” jelasnya dalam Infobank Starting Year Forum 2023 ‘Bauran Kebijakan Bank Indonesia di Tengah Turbulensi Ekonomi Global,’ Rabu (25/1/2023).
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, stagflasi dapat dipahami sebagai situasi ekonomi yang ditandai dengan pertumbuhan yang lambat dan tingkat pengangguran yang tinggi disertai dengan inflasi. Sementera resflasi merupakan gabungan dari resesi dan inflasi yang tinggi.
Menurut Perry, Indonesia dengan strategi KIS (konsisten, inovatif, dan sinergi) dapat mempertahankan ekonominya sehingga tidak seperti negara-negara tersebut.
“Kalau di negara maju, harga BBM naik ya naikan saja [harganya], tidak ada tambahan fiskal, kecuali Jerman. Negara lain nggak punya duit,” ungkap Perry.
Akibatnya, inflasi yang terjadi justru semakin melonjak karena tidak ada terobosan dan sinergi antara fiskal dan moneternya.
Bila memang ada turbulensi, jelas Perry, setiap orang harus konsisten dan jangan menyerah serta percaya dengan apa yang mereka lakukan.
Tanpa inovasi di tengah turbulensi pun dapat mematikan perusahaan karena tidak ada terobosan untuk keluar menang dari turbulensi. Memiliki banyak teman dan membuat sinergi akan memperkuat ekonomi, karena pada dasarnya, manusia makhluk sosial yang tidak dapat berjalan sendirian.
“Ini lah tiga kata kunci menghadapi turbulensi, marilah kita KIS setiap hari, konsisten, continue what we belive in, being invoatif, ada masalah kasih trobosan, ketiga sinergi,” katanya.
Dalam hal ini, Perry membuktikan dengan KIS, pihaknya bersama Kementerian Keuangan melalui skema berbagi beban atau burden sharing, berhasil mengendalikan inflasi di Indonesia.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada Desember 2022 inflasi Indonesia berada di level 5,51 persen. Angka tersebut lebih rendah dari Amerika Serikat (6,5 persen) dan Inggris (10,5 persen).
“Nggak ada KIS di sana, fiskalnya tetap konsisten, moneternya juga. Ya sudah inflasi tinggi, naikan suku bunga. Tidak ada terobosan dan sinergi, masing-masing pengennya konsisten, gak mau subsidi, moneternya naik,” tuturnya.
Diberitakan sebelumnya, selama tiga tahun terakhir menerapkan burden sharing atau kebijakan berbagi beban. Namun pada 2023, BI dan Kemenkeu tidak lagi melakukan sinergi tersebut.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menekankan bahwa antara Kemenkeu dan BI tetap berkolaborasi dalam menjaga perekonomian Indonesia untuk terhindar dari resesi.
“Namun, kami tetap menjaga independency masing-masing instrumen untuk kredibel dan sustainable,” ujar Menkeu, Senin (9/1/2023).