Bisnis.com, JAKARTA - Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) melaporkan ekspor minyak sawit Indonesia selama 4 tahun terakhir terus merosot.
Gapki mencatat pada 2019 ekspor mencapai 37,4 juta ton. Lalu, turun menjadi 34 juta ton pada 2020 dan kembali turun menjadi 33,67 juta ton pada 2021. Sepanjang 2022 pun, ekspor melanjutkan tren penurunan, yakni mencapai 30,8 juta ton atau turun 8,52 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Ketua Umum Gapki Joko Supriyono mengatakan, tren penurunan ekspor tersebut harus diantisipasi, sebab minyak sawit adalah salah satu sumber devisa negara. Dia pun berharap agar situasi pada 2022 seperti kelangkaan minyak goreng dan pelarangan ekspor sawit tidak lagi terjadi tahun ini.
“Tahun 2022 paling tidak normal, mudah-mudahan dinamika yang bergejolak itu tidak terjadi lagi tahun ini,” ujar Joko dalam acara jumpa pers di Jakarta, Rabu (25/1/2023).
Kendati secara volume mengalami penurunan, nilai ekspor crude palm oil/CPO, olahan, dan turunannya pada 2022 mencapai US$39,28 miliar atau naik 10,65 persen dibandingkan 2021 sebesar US$35,5 miliar.
“Ini terjadi karena memang harga produk sawit tahun 2022 relatif lebih tinggi dari harga tahun 2021,” kata Joko.
Baca Juga
Joko mengungkapkan, kinerja industri sawit sepanjang 2022 dipengaruhi oleh sejumlah kejadian, antara lain cuaca yang ekstrem basah, lonjakan kasus Covid-19 pada Februari, dimulainya perang Ukraina-Rusia, harga minyak nabati termasuk minyak sawit yang sangat tinggi, harga minyak bumi yang sangat tinggi, kebijakan pelarangan ekspor produk minyak sawit oleh pemerintah 28 April - 23 Mei, harga pupuk yang tinggi, dan sangat rendahnya pencapaian program peremajaan sawit rakyat (PSR).
“Kejadian tidak biasa tersebut sangat berpengaruh terhadap kinerja industri sawit Indonesia baik dalam produksi, konsumsi, maupun ekspor,” ujar Joko.
Secara teknis, dia berujar, cuaca ekstrem basah mengganggu aktivitas serangga penyerbuk dan kegiatan panen. Kemudian, pupuk yang mahal dan sulit diperoleh mengganggu kegiatan pemeliharaan tanaman.
Lalu, pelarangan ekspor menyebabkan buah tidak dipanen, tidak hanya pada periode pelarangan tetapi juga beberapa bulan sesudahnya ketika stok masih sangat tinggi.
“Program PSR yang tidak mencapai target dan pertambahan luas areal yang secara total hanya 600.000 hektare dalam 5 tahun terakhir akibat moratorium perizinan berusaha untuk kelapa sawit menyebabkan hilangnya harapan kenaikan produksi dari tanaman-tanaman baru,” jelas Joko.
Selain itu, dia menuturkan, harga yang sangat tinggi juga menyebabkan penundaan replanting oleh banyak pekebun sehingga porsi tanaman tua yang produktivitasnya lebih rendah menjadi lebih banyak. Situasi ini berkontribusi terhadap pencapaian produksi CPO pada 2022 sebesar 46,73 juta ton, lebih rendah dari produksi pada 2021 sebesar 46,88 juta ton.
“Ini merupakan tahun ke-4 berturut-turut di mana produksi cenderung terus turun atau stagnan sejak kelapa sawit diusahakan secara komersial di Indonesia,” ucap Joko.
Lebih lanjut, dia menyampaikan konsumsi sawit dalam negeri pada 2022 secara total mencapai 20,97 juta ton, lebih tinggi dibandingkan 2021 yang sebesar 18,42 juta ton. Konsumsi didominasi untuk industri pangan sebesar 9,94 juta ton atau lebih tinggi dari 2021 sebesar 8,95 juta ton dan lebih tinggi dari 2019 sebelum pandemi sebesar 9,86 juta ton.
Konsumsi untuk industri oleokimia mencapai 2,18 juta ton, naik dibandingkan 2021 sebesar 2,13 juta ton dan jauh lebih rendah dari kenaikan konsumsi 2019-2020 sebesar 25,4 persen dan 2018- 2019 sebesar 60 persen yang diduga berhubungan dengan situasi pandemi Covid-19.
Kemudian, konsumsi untuk biodiesel sepanjang 2022 mencapai 8,84 juta ton yang lebih tinggi dari konsumsi 2021 sebesar 7,34 juta ton.
Dengan pencapaian produksi, konsumsi dalam negeri, dan ekspor tersebut, stok minyak sawit di dalam negeri diperkirakan mencapai 3,66 juta ton. Berdasarkan laju pertumbuhan produksi dan konsumsi, maka faktor-faktor penghambat pertumbuhan produksi harus segera diatasi.
“Kondisi yang mempengaruhi industri sawit sepanjang tahun 2022 diperkirakan masih akan mempengaruhi kinerja sawit tahun 2023. Produksi diperkirakan masih belum akan meningkat, sementara konsumsi dalam negeri diperkirakan akan meningkat akibat penerapan kewajiban B35 mulai 1 Februari 2023,” ungkap Joko.