Bisnis.com, JAKARTA - Tak hanya di Jakarta dan Bali, fenomena hotel berbintang dijual oleh pemiliknya melalui platform jual beli online juga terjadi di Surabaya, Jawa Timur.
Berdasarkan pantauan Bisnis, hotel berbintang 3 mendominasi iklan penjualan di Surabaya. Misalnya, pada situs Lamudi.co.id, ada sebuah hotel dijual di tengah kota Surabaya dengan harga Rp52,5 miliar dengan luas bangunan 3.000 meter persegi. Hotel ini memiliki total kamar 51 unit.
"Butuh sangat cepat dijual. Bintang 3 dan sudah kerjasama dengan airy. Yang sangat menarik adalah Bisnis hotel dan karaokenya 1 gedung berjalan sangat lancar. Hotel 51 kamar okupansi 70 persen minimal. Karaoke 21 room juga berjalan sangat bagus," tulis penjual dikutip dari situs Lamudi.co.id, Jumat (20/1/2023).
Sementara itu, di wilayah Darmo, pusat kota Surabaya dijual hotel syariah yang aktif beroperasi dengan harga Rp32,5 miliar. Hotel ini memiliki luas tanah sebesar 608 meter persegi, luas bangunan 2.000 meter persegi.
Adapun, bangunan 3 lantai tersebut diklaim telah memiliki sertifikat SHM, IMB, dan Izin Usaha. Kamar yang tersedia sebanyak 34 unit dengan berbagai fasilitas termasuk kulkas hingga wifi.
Di situs Rumah123.com, hotel berbintang 4 di Surabaya dijual dengan harga Rp40 miliar dengan luas bangunan sebesar 1.780 dan menawarkan 50 kamar. Lalu, hotel bintang 4 di wilayah Jemursari dijual dengan harga Rp65 miliar untuk luas bangunan sebesar 3.800 meter persegi.
Director of Hospitality Services Colliers Indonesia, Satria Wei menuturkan, market atau demand dan sustainability bisnis menjadi salah satu tantangan terbesar di Surabaya sejak 25 tahun yang lalu.
"Pasar hotel (tingkat hunian dan harga nya rata-rata kamar hotel) di Surabaya termasuk salah satu yang rendah di Indonesia, untuk semua jenis akomodasi, terutama mereka yang berada di Bintang 3 dan Bintang 4," kata Satria kepada Bisnis, Jumat (20/1/2023).
Dengan rendahnya harga hotel bintang 5 yang dapat di terima oleh market di Surabaya, berakibat pada tertekannya harga hotel di kelas yang lebih bawah. Sementara itu, biaya investasi dan operasional masing-masing kategori hotel semakin tinggi.
Tak hanya di Surabaya, dia mengatakan ada 3 faktor yang menyebabkan penjualan hotel di beberapa wilayah lainnya mengalami keterpurukan yaitu kondisi finansial, sustainabiliy usaha dan investasi.
"Dari segi finansial, ada keterbatasan atau tidak adanya dana cadangan lagi untuk mulai membuka kembali hotel tersebut atau menunjang operasional hotel yang tidak setiap bulannya bisa untung. Apalagi apabila ada pinjaman di bank maka akan semakin berat," jelasnya.
Sementara itu, dari sisi sustainability atau keberlanjutan usaha, dia melihat ada keraguan dari pengusaha atau calon investor bahwa bahwa bisnis hotel bukanlah bisnis yang menjanjikan lagi.
Pasalnya, hotel merupakan bisnis yang membutuhkan investasi besar, sedangkan Return of Investment (RoI) butuh waktu yang sangat panjang.
Selain itu, operasionalnya cukup mahal baik dari perizinan, sumber daya manusia dan bahan mentah yang dibutuhkan.
"Serta dibuktikan bahwa bisnis hotel yang normatif sangat fragile terhadap situasi perang, penyakit/pandemi, inflasi. Disamping, semakin sulitnya pendanaan bagi sektor perhotelan untuk mendapatkan dukungan 'pernafasan' dari institusi keuangan, apalagi untuk berinvestasi," ujarnya.
Sementara itu, dari segi investasi, investor mulai melihat aset lain selain perhotelan untuk berinvestasi. Beberapa di antaranya menyasar investasi yang lebih mudah dengan dana yang dibutuhkan lebih kecil, tapi pengembalian investasi yang lebih cepat, serta margin keuntungan yang lebih tinggi. Dengan demikian resiko atas investasi menjadi lebih rendah.
"Kami menyadari tren tersebut sejak beberapa tahun sebelum pandemi dan tren penjualan [hotel] ini semakin meninggi. Selain alasan di atas, salah satu pemicu peningkatan jumlah penjualan tersebut adalah rencana diakhirinya dukungan dari perbankan atas pinjaman-pinjaman yang dimiliki oleh hotel-hotel di Indonesia akibat pandemi yang lalu," paparnya.