Bisnis.com, JAKARTA - Ada perbedaan data mengenai jumlah tenaga kerja yang terdampak pemutusan hubungan kerja (PHK) periode Januari - November 2022. Padahal industri padat karya seperti sepatu telah memangkas ribuan pekerja.
Salah satu data PHK yang kerapkali disitat adalah catatan dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagkerjaan. Data BPJS TK yang biasa diandalkan mencerminkan kondisi PHK yaitu jumlah pencairan bantuan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).
Sepanjang periode Januari-November tahun ini, terdapat 8.760 orang yang mencairkan JKP. Total JKP yang dicairkan menembus Rp34,1 miliar.
Selain JKP, data BPJS TK yang seringkali dianggap menggambarkan jumlah PHK dalam periode tertentu adalah total pencairan Jaminan Hari Tua (JHT). Persoalannya, jika mengacu data JHT, maka jumlah PHK sangat tinggi, mencapai 919.071 orang sepanjang Januari-November tahun lalu.
Sebaliknya, dari instansi pemerintah, data terkait PHK dikumpulkan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker). Berdasarkan data Kemnaker, jumlah pekerja yang mengalami PHK sebanyak 12.935 orang hingga November tahun lalu.
Sementara, Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) juga mengklaim di tengah kondisi sekarat industri persepatuan, jumlah PHK cukup besar dan melebihi angka yang tercatat di Kemnaker. Asosiasi mengklaim korban PHK sekitar 25.700 orang.
Baca Juga
Terkait perbedaan data ini, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyebutkan, data yang paling layak untuk dijadikan acuan dan paling dekat dengan realitas adalah data yang dirilis oleh BPJS, baik JKP maupun JHT.
“Yang paling dekat dengan realita data [dari] BPJS,” kata Bhima saat dihubungi Bisnis pada Rabu (18/1/2023).
Lantaran menurutnya, tenaga kerja yang terdampak PHK akan membutuhkan dana dan kemudian mencairkan BPJS, baik JKP maupun JHT.
Sementara, data dari Kemenaker, menurut Bhima didapat dari pelaporan perusahaan kepada Kemenaker. Sayangnya, kata Bhima, tidak semua perusahaan taat melapor mengenai hal ini.
“Maksudnya perusahaan tidak semua melapor yang PHK, jadi datanya tidak utuh,” tambah Bhima.
Terakhir, menurut Bhima, tidak semua perusahaan dalam suatu industri, tergabung dalam asosiasi. Hanya perusahaan yang tergabung dengan asosiasi tersebut, yang akan melapor. Sehingga, lagi-lagi data dari asosiasi tidak dapat dipertaruhkan.
Hal senada juga diungkapkan oleh Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia, menurutnya data dari BPJS lah yang bisa dijadikan acuan. Lantaran merupakan data asli yang dipertanggungjawabkan dengan audit BPK.
“Data dari BPJS lah, itu benar, ini kan di audit BPK. [sedangkan] Kemenaker itu belum tentu, dan sumber dari mana itu,” kata Hariyadi kepada Bisnis pada pada Rabu (18/1/2023).