Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

PLN Optimistis Serapan Listrik Tahun Ini, ESDM Tunggu Revisi RUPTL

PLN memproyeksikan pertumbuhan konsumsi listrik sampai dengan 2030 dalam skenario optimistis dapat mencapai rata-rata 5,4 persen.
Warga melakukan pengisian token listrik prabayar di Jakarta, Senin (2/1/2023). Bisnis/Suselo Jati
Warga melakukan pengisian token listrik prabayar di Jakarta, Senin (2/1/2023). Bisnis/Suselo Jati

Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) masih menantikan usulan revisi rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) 2021-2030 dari PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN pada awal tahun ini.

Revisi rencana penyediaan listrik itu berkaitan dengan potensi tambahan permintaan yang naik signifikan dengan investasi dan pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian atau smelter mineral yang masif tahun ini. 

Seperti diketahui, PLN memproyeksikan pertumbuhan konsumsi listrik sampai dengan 2030 dalam skenario optimistis dapat mencapai rata-rata 5,4 persen. Asumsi ini lebih tinggi dibandingkan asumsi dalam RUPTL 2021-2030 yang sebesar 4,4-4,7 persen. 

Dalam proyeksi moderat, perusahaan setrum pelat merah itu memproyeksikan rata-rata pertumbuhan permintaan listrik sampai dengan 2030 berada di kisaran paling rendah 4,91 persen. 

“RUPTL memang dokumen yang dinamis yang dapat direvisi untuk dilakukan penyesuaian. Kementerian masih menunggu usulan revisi RUPTL dari PLN,” kata Plt. Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Dadan Kusdiana saat dihubungi, Kamis (12/1/2023). 

Kendati demikian, Dadan meminta, PLN untuk memberi ruang yang lebar bagi pengembangan pembangkit berbasis energi baru terbarukan (EBT) dalam sistem perencanaan yang dievaluasi nanti. 

Dengan demikian, dia berharap, bauran energi bersih dalam sistem kelistrikan nasional dapat ditingkatkan di tengah momentum pemulihan penjualan listrik saat ini. 

“Yang pasti komitmen untuk EBT-nya tidak boleh turun dari RUPTL yang sekarang,” kata dia. 

Seperti diberitakan sebelumnya, PLN menantikan pertumbuhan komitmen permintaan listrik dari pabrik pengolahan dan pemurnian atau smelter mineral untuk ikut membenahi kondisi kelebihan pasokan listrik yang terlanjur lebar saat ini. 

“Untuk tahun ini dampak smelter belum terlalu terlihat, karena kebanyakan masih dalam konstruksi, sebagian besar akan masuk tahun 2024 sampai 2025," kata EVP Perencanaan Sistem Ketenagalistrikan PLN Warsono kepada Bisnis, Kamis (12/1/2022). 

Warsono mengatakan, perseroannya belum mendapatkan gambaran yang jelas ihwal potensi permintaan listrik dari industri pengolahan mineral tersebut tahun ini. 

Kendati demikian, dia mengatakan, PLN sudah mulai menyalurkan listrik kepada sejumlah smelter yang mulai beroperasi tahun ini. 

Misalkan, pada pertengahan tahun lalu, PLN sempat menandatangani enam nota kesepahaman atau memorandum of understanding (MoU) untuk penyaluran listrik sebanyak 3.168 mega volt ampere (MVA). 

Keenam perusahaan tersebut antara lain PT Sarana Mineralindo Perkasa sebesar 90 MVA, PT Gorontalo Mineral sebesar 100 MVA, PT Kawasan Industri Mongondow sebesar 1.000 MVA, Huayou International Mining (Hongkong) Ltd sebesar 1.743 MVA, PT Indo Nickel Industry sebesar 85 MVA, dan PT Antam (Persero) UBPN Sultra sebesar 150 MVA.

“Belum ada informasi yang fixed sementara, yang pasti, kami sudah melayani Smelter Huadi di Bantaeng, Sulawesi Selatan, dengan kapasitas 280 MVA dan rencana akan terus bertambah,” kata dia. 

Laporan Tahunan PLN untuk periode 2021 menunjukkan kapasitas terpasang pembangkit listrik PLN yang berasal dari pembangkit sendiri, independent power plant (IPP) dan sewa mencapai sebesar 44.464,74 megawatt (MW). 

Kapasitas terpasang itu mengalami peningkatan sebesar 289,95 MW jika dibandingkan dengan posisi 2020 di angka 44.174,80 MW. Sementara  kapasitas itu berpotensi terus meningkat signifikan seiring dengan megaproyek 35.000 MW yang masih berjalan hingga 2028 mendatang. 

Sementara itu, tingkat konsumsi masyarakat tidak banyak bergeser yang tercermin dari penjualan listrik PLN di angka 257.634,25 gigawatt hours (Gwh) sepanjang 2021. Kendati pencatatan penjualan itu kembali meningkat dari masa pandemi sebesar 5,77 persen atas torehan tahun 2020 di posisi 243.582,75 Gwh. 

Di sisi lain, perusahaan setrum pelat merah itu melaporkan beban pembelian tenaga listrik dari IPP sudah mencapai di angka Rp94,22 triliun sepanjang Januari hingga September 2022. Beban itu naik signifikan 22,58 persen dari pembelian tenaga listrik IPP pada periode yang sama 2021 di angka Rp76,86 triliun. 

Mengutip laporan keuangan triwulan ketiga 2022 milik perseroan, sampai dengan 30 Juni 2022 PLN telah menandatangani 37 kontrak engineering, procurement, construction (EPC) meliputi 10 pembangkit dengan kapasitas 7.490 MW di Jawa-Bali dan 27 pembangkit dengan kapasitas 2.489 MW di luar Jawa-Bali. 

Adapun, PLN telah membayar uang muka sebesar US$876.217.780 dan Rp4.790.016 untuk 35 kontrak EPC yang dicatat sebagai aset dalam pembangunan. Uang muka itu didanai dari hasil penerbitan obligasi terjamin dan penarikan fasilitas kredit program percepatan. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Kahfi
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper