Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Gara-gara Perppu Cipta Kerja, Lima Masalah Ini Bakal Dihadapi oleh Rakyat

Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia mencatat lima masalah dari Perppu Cipta Kerja, mulai dari upah murah hingga perluasan outsourcing.
Perppu No 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja
Perppu No 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja

Bisnis.com, JAKARTA — Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2/2022 tentang Cipta Kerja yang diterbitkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada akhir Desember 2022 lalu disebut-sebut bakal memberikan masalah baru bagi masyarakat.

Ketua Umum Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) Nining Elitos menyampaikan, setidaknya terdapat lima masalah yang akan dihadapi oleh masyarakat jika Jokowi tidak mencabut Perppu tersebut.

Pertama, pasar tenaga kerja yang fleksibel. Dalam penjelasan Perppu Cipta Kerja, disebutkan bahwa alasan dibutuhkannya penciptaan kerja salah satunya lantaran penduduk yang bekerja sebanyak 135,61 juta orang dimana sebanyak 81,33 juta orang atau 59,97 persen bekerja pada kegiatan informal.

Menurutnya, alasan tersebut merupakan pembenaran terhadap adanya praktik-praktik hubungan kerja non-standar yang sekarang menjadi tren seiring dengan adanya disrupsi teknologi.

“Kondisi tersebut perlu diatasi dengan membuat kedudukan yang setara antara Pekerja/Buruh dengan pemberi kerja, serta pemenuhan hak-hak tanpa dikesampingkan karena sifat hubungan kerja tersebut,” ujar Nining dalam keterangan resmi, dikutip Selasa (10/1/2023).

Kedua, politik upah murah. Nining menuturkan, skema kebijakan pengupahan yang dirumuskan, sebagaimana tercantum dalam pasal 88 C Perppu Cipta Kerja dan pasal 25 ayat (2) PP Nomor 36/2021, merujuk pada kepentingan pelaku usaha, khususnya kondisi bisnis perusahaan dan juga pertumbuhan ekonomi di suatu daerah.

Jika berbicara mengenai kebijakan pengupahan, lanjut dia, seharusnya merujuk pada kondisi objektif dan riil pekerja, di mana upah pekerja diproyeksikan agar pekerja dan keluarganya mendapatkan upah yang layak untuk penghidupannya, sehingga kehidupan lebih sejahtera.

“Kondisi tersebut, menunjukkan UU/Perppu Cipta Kerja meletakkan kebijakan pengupahan sebagai sebuah ongkos produksi yang menjadi beban bagi perusahaan,” jelasnya.

Ketiga, perluasan sistem outsourcing. Merujuk pada UU Ketenagakerjaan, pekerjaan alih daya dibatasi hanya untuk pekerjaan di luar kegiatan utama atau yang tidak berhubungan dengan proses produksi. 

Sedangkan dalam Perppu Cipta Kerja, penjelasan ketentuan yang mengatur batasan pekerjaan-pekerjaan apa saja yang dapat dialih daya, tidak ada lagi. Dengan begitu, Perppu dinilai bisa memberikan peluang bagi perusahaan alih daya untuk bisa memberikan berbagai tugas kepada pekerja, hingga tugas yang ranahnya bersifat bukan penunjang. 

Sistem ini, disebut bisa membuat sistem alih daya menjadi tak terkontrol. Apalagi, lanjut dia, pasal 64 Perppu Cipta Kerja yang awalnya dihapus dalam UU Cipta Kerja sekarang diatur bahwa perusahaan bisa menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian alih daya yang dibuat secara tertulis.

Adapun ketentuan lebih lanjut akan dituangkan dalam sebuah Peraturan Pemerintah (PP).

Selanjutnya adalah ancaman bagi lingkungan hidup dan perampasan wilayah adat. Nining menuturkan, terdapat perubahan ketentuan mengenai AMDAL dan kemudahan izin usaha yang dinilai mengancam lingkungan hidup.

Baik UU Cipta Kerja maupun Perppu Cipta Kerja memodifikasi beberapa ketentuan di dalam UU 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Sebanyak 27 pasal diubah, 4 ditambahkan, dan 10 pasal dihapus. Lalu, ada tujuh pasal yang memberikan ketentuan lebih lanjut dalam bentuk peraturan pemerintah dan peraturan menteri.

Dalam aturan tersebut, pemerintah beranggapan bahwa tidak ada perubahan signifikan terhadap konsep dan ketentuan mengenai AMDAL. Menurut pemerintah, yang dilakukan hanyalah penyempurnaan guna memberikan kemudahan bagi pelaku usaha untuk mendapatkan persetujuan lingkungan.

“Padahal apa yang diatur dalam UU Cipta Kerja cukup membuat kesaktian AMDAL hilang. Sebab fungsi AMDAL tidak lagi sebagai upaya preventif sehingga dapat menurunkan kualitas lingkungan. Serta terdapat penghilangan partisipasi masyarakat dalam proses pembuatan dan pelaksanaan dari AMDAL,” katanya.

Poin kelima adalah beroperasinya lembaga inkonstitusional badan bank tanah. Menurut Nining, adanya bank tanah kembali menghidupkan asas kolonial domein verklaring dan menyimpangi hak menguasai dari negara (HMN) melalui Hak Pengelolaan (HPL).

“Operasional Bank Tanah berpotensi besar menimbulkan korupsi institusional karena sarat akan tumpang tindih kewenangan dan konflik kepentingan,” tegasnya.

Selain itu, lanjut dia, bank tanah dinilai akan semakin memasifkan liberalisasi tanah dan menghadirkan berbagai persoalan agraria. 

Beberapa diantaranya yaitu kemudahan perampasan tanah (land grabbing) dalam mengkonsolidasikan tanah untuk kepentingan investasi, dan proyek strategis nasional (PSN) yang penentuannya disebut serampangan dan menyesatkan fungsi sosial atas tanah serta nihil partisipasi petani, nelayan, masyarakat adat, perempuan, masyarakat miskin kota, dan kelompok rentan lainnya sebagai elemen terdampak pembangunan.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Ni Luh Anggela
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper