Bisnis.com, JAKARTA - Pada 30 Desember 2022, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 2/2022 tentang Cipta Kerja sebagai pengganti UU No. 11/2020 Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Selain mempertimbangkan kebutuhan mendesak dalam mengantisipasi kondisi global, Perppu No. 2/2022 pun memberi kepastian hukum atas UU Cipta Kerja itu sendiri.
Khusus di klaster Ketenagakerjaan, Perppu Cipta Kerja penyesuaian dilakukan atas dasar aspirasi masyarakat, seperti: pengaturan upah minimum dan pengaturan pekerja alih daya yang sebelumnya berlaku di seluruh sektor usaha. Kini dengan Perppu 2/2022 berubah menjadi diatur jenis pekerjaannya sesuai dengan Peraturan Pemerintah. Secara dokumentatif, klaster ketenagakerjaan di Perppu No. 2/2022 hanya menempati 41 halaman (hal. 539—578) dari 1.117 halaman.
Jika dibandingkan dengan UU 11/2020 Cipta Kerja, setidaknya ada 29 pasal yang dihapus di Perppu 2/2022. Namun, penghapusan tersebut tidak berhubungan dengan soal pesangon pekerja. Artinya, ketentuan uang pesangon pekerja tetap mengacu pada PP No. 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang ditetapkan pada 2 Februari 2021.
Justru tantangannya, apakah setiap pekerja di Indonesia sudah tersedia uang pesangonnya saat harus berhenti bekerja? Entah, atas sebab pensiun, meninggal dunia atau di-PHK? Karena faktanya, hanya 7% pemberi kerja atau perusahaan yang membayar pesangon PHK sesuai aturan yang berlaku. Itu berarti, 93% pemberi kerja membayar uang pesangon pekerja tidak sesuai regulasi.
Maka, ke depan, pemerintah dan pelaku industri apa pun harusnya dapat membuktikan tingkat kepatuhan pembayaran kompensasi pesangon pekerja saat di-PHK sesuai aturan yang berlaku. Patut diketahui, saat ini ada 135,6 juta pekerja di Indonesia dan 60%-nya berada di sektor informal, termasuk UMKM.
Jadi, apa dampak Perppu No. 2/2022 terhadap pesangon pekerja? Jawabnya, bisa dikatakan tidak ada. Pada Perppu No. 2/2022 tentang Cipta Kerja, Pasal 156 ayat (1) ditegaskan “Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima”.
Baca Juga
Adapun acuan besarannya terdiri dari: a) uang pesangon (ayat 2), b) uang penghargaan masa kerja (UPMK) (ayat 3), dan c) uang penggantian hak (UPH) seperti cuti tahunan dan biaya ongkos pekerja (ayat 4). Setidaknya, ada 17 alasan terjadinya PHK, baik akibat pensiun, meninggal dunia, atau efisiensi perusahaan.
Karena itu, setiap pekerja harus tahu aturan mainnya dan setiap pemberi kerja harus benar-benar menerapkan aturan pesangon yang ada di PP No. 35/2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja.
Perhitungan PESANGON
Sebagai contoh, si A memiliki masa kerja 20 tahun dengan upah terakhirnya Rp10 juta. Maka sesuai PP No. 35/2021, saat si A di-PHK atas alasan memasuki usia PENSIUN, maka perhitungan uang pesangon (UP), uang penghargaan masa kerja (UPMK), dan uang penggantian hak (UPH) yang diperoleh ada sebagai berikut:
– UP: 9 x 1,75 x Rp10 juta =157,5 juta
– UPMK: 7 x Rp10 juta = 70 juta
– UPH: 1 x Rp10 juta = 10 juta
Maka, uang pensiun yang diperoleh si A sebesar Rp237,5 juta.
Berbeda bila si A ternyata di-PHK atas alasan EFISIENSI PERUSAHAAN, maka maka perhitungan UP–UPMK–UPH yang diperoleh sebagai berikut:
– UP: 9 x 1 x Rp10 juta = 90 juta
– UPMK: 7 x Rp10 juta = 70 juta
– UPH: 1 x Rp10 juta = 10 juta
Maka, uang pesangon yang diperoleh si A sebesar Rp170 juta.
Besar kecil uang pesangon tentu bersifat relatif, yang penting adalah penegakan aturan dalam pembayaran pesangon. Namun, sayangnya saat masih banyak pemberi kerja atau perusahaan yang tidak membayar pesangon saat terjadi PHK. Akibatnya 1) tidak tersedianya uang pesangon saat harus dibayarkan pemberi kerja, dan 2) kesadaran pemberi kerja yang sangat minim untuk mendanakan uang pesangon, termasuk uang pensiun pekerjanya.
Oleh karena itu, inilah momentum pemberi kerja harus mulai mendanakan uang pesangon atau uang pensiun untuk para pekerjanya. Karena cepat atau lambat, uang pesangon atau pensiun pekerja pasti dibayarkan.
Bagaimana caranya mendanakan uang pesangon atau pensiun pekerja? Salah satunya, dapat dilakukan melalui DPLK (Dana Pensiun Lembaga Keuangan). Pemberi kerja atau perusahaan dapat mulai mendanakan uang pesangon atau uang pensiun pekerja melalui dana pensiun lembaga keuangan yang ada di pasaran.
Selain dapat disesuaikan dengan kondisi perusahaan, DPLK pun bisa menjadi pilihan dalam eksekusi pembayaran imbalan pasacakerja, baik saat pensiun, meninggal dunia, atau di-PHK.
Nah, dalam konteks pembayaran imbalan pascakerja ini pula, UU Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK) yang baru disahkan 15 Desember 2022 pun harus mengakomodir program pensiun yang dilakukan untuk pembayaran imbalan pascakerja agar lebih harmoni dan bersinergi. DPLK dapat dijadikan “kendaraaan” pembayaran imbalan pascakerja yang tidak sebatas pensiun semata.