Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Keuangan mengungkapkan sejumlah protokol penentuan kondisi krisis yang memungkinkan pelaksanaan berbagi beban atau burden sharing dengan Bank Indonesia (BI), sesuai ketentuan baru dalam Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK) atau omnibus law keuangan.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Nathan Kacaribu menjelaskan bahwa UU PPSK mengatur skema burden sharing antara pemerintah dengan BI dapat tetap berlaku apabila terjadi krisis. Sebelumnya, skema burden sharing hanya disiapkan untuk 2 tahun sebagai langkah pemenuhan kebutuhan dana penanganan pandemi Covid-19.
Ketentuan itu menjadi sorotan karena berisiko mengikis independensi bank sentral, bahwa akan selalu ada pihak yang siap siaga membeli surat utang pemerintah, yang juga berisiko memengaruhi harga. Namun, Febrio menyebut bahwa pelaksanaan burden sharing akan berjalan secara hati-hati dan terstruktur sehingga tidak mencederai independensi BI maupun pasar surat utang.
Dia menjelaskan bahwa burden sharing hanya bisa berjalan dalam kondisi krisis, terutama yang memberikan dampak besar terhadap sistem keuangan. Kondisi krisis itu sendiri, menurut Febrio, pasti sangat kasat mata dan objektif seperti terlihat dari pertumbuhan ekonomi yang negatif, serta depresiasi kurs hingga koreksi pasar modal yang tajam.
Meskipun begitu, setiap lembaga dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) memiliki protokol krisisnya masing-masing sebagai acuan penentuan kondisi krisis. Menurut Febrio, hal tersebut akan menjaga bahwa pelaksanaan burden sharing melewati proses yang hati-hati,
"Itu ada protokol krisisnya masing-masing, BI, Otoritas Jasa Keuangan [OJK], Kementerian Keuangan dalam konteks surat berharga negara [SBN]. Pada saat itulah ditentukan ada krisis," ujar Febrio dalam sesi diskusi mengenai UU PPSK bersama Bisnis Indonesia pada Rabu (21/12/2022) sore.
Penentuan status krisis memang berada di tangan presiden, tetapi presiden terlebih dahulu akan menerima rekomendasi dari KSSK—yang dipimpin menteri keuangan.
Oleh karena itu, penentuan rekomendasi krisis dari KSSK memerlukan persetujuan keempat anggotanya melalui proses yang hati-hati.
"Dalam Pasal 36A [UU PPSK bagian BI], pembelian SBN di pasar perdana [melalui skema burden sharing] hanya dalam kondisi krisis. Ketika krisis, harus diputuskan oleh presiden, rekomendasinya dari KSSK, dan pembahasannya di antara keempat lembaga tersebut," kata Febrio.
Dia pun menyebut bahwa dalam redaksional UU PPSK, tertulis bahwa BI berwenang membeli SBN dalam kondisi krisis. Febrio menyatakan bahwa penggunaan kata berwenang, bukan ditugaskan, menunjukkan bahwa BI memiliki titik berdiri untuk melaksanakan burden sharing atau tidak melakukannya.
"Artinya di situ independensi dari bank sentral tetap terjaga," katanya.
Berdasarkan draf RUU PPSK yang diperoleh Bisnis pada Kamis (8/12/2022), pasal 36A menyebutkan bahwa dalam rangka penanganan stabilitas sistem keuangan yang disebabkan oleh kondisi krisis, Bank Indonesia (BI) berwenang untuk membeli SBN berjangka panjang di pasar perdana untuk penanganan permasalahan sistem keuangan yang membahayakan perekonomian nasional.
“Skema dan mekanisme pembelian Surat Berharga Negara di pasar perdana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditetapkan dalam keputusan bersama Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia,” tulis ayat (4) Pasal 36A beleid tersebut, Kamis (8/12/2022).