Bisnis.com, JAKARTA - Pemilihan rute penerbangan yang favorit atau sesuai dengan kebutuhan perjalanan masyarakat menjadi kunci dalam penataan hub bandara agar bisa meningkatkan kinerja bisnis aviasi.
Pemerhati penerbangan Alvin Lie menjelaskan saat ini pemerintah banyak membangun bandara kecil dengan kapasitas yang tidak bisa didarati oleh pesawat besar, termasuk jumlah penumpang dan kargo. Kemudian, jumlah penumpang dan kargo tersebut diterbangkan ke bandara besar lainnya.
Menurutnya, dalam pembangunan hub, realisasinya harus bisa menghubungkan antara bandara besar dan kecil agar produktivitas bandara kecil bisa meningkat. Contohnya, Bandara JB Soedirman di Purbalingga dan Bandara Ngloram di Blora dengan jumlah penumpang dan kargo yang kurang layak sehingga masih harus disubsidi oleh lima hingga enam pemerintah daerah pakai skema block seat.
Menurutnya, hal ini merupakan solusi yang baik, tetapi mungkin sebaiknya bandara-bandara tersebut dapat mengevaluasi kebutuhan perjalanan penumpang. Bandara-bandara tersebut tidak mesti harus membuka rute ke Jakarta.
"Secara spesifik JB Soedirman justru hanya buka rute ke Jakarta. Padahal ada di Jawa Tengah, ibu kotanya Semarang. Apakah lebih butuh ke Jakarta dibandingkan Semarang? Purbalingga ke Jakarta ada pilihan bis dan kereta yang konektivitasnya lebih lancar daripada ke Semarang," ujarnya, Kamis (4/12/2022).
Oleh karenanya, dalam menata hub bandara, Alvin berpendapat harus disesuaikan dengan pola kebutuhan perjalanan di bandara. Hal itu terkait dengan kebutuhan menghubungkan ibu kota provinsinya atau dengan bandara besar yang menjadi pusat perdagangan. Pasalnya, menurut Alvin, tidak semua bandara kecil memerlukan konektivitas ke Jakarta.
Baca Juga
"Itu yang perlu diperhatikan konektivitas hub and spoke sehingga menjadi rute-rute yang menarik dilayani oleh maskapai penerbangan," tekannya.
Sementara itu, PT Angkasa Pura II (Persero) atau AP II dapat memahami alasan belum banyaknya maskapai menerbangi sejumlah rute-rute menuju dari dan menuju bandara tertentu, seperti sebelum pra pandemi.
Direktur Utama AP II Muhammad Awaluddin menjelaskan alasan yang paling utama satu, saat ini maskapai dalam kondisi jumlah kepemilikan pesawat yang berkurang drastis. Sebelum pandemi, jumlah kepemilikan pesawat dari seluruh maskapai yang beroperasi mendekati angka sekitar 600 pesawat.
Hingga kini, jumlah kepemilikan pesawat maskapai kurang lebih sekitar 350 atau hampir menuju 400 pesawat. Kondisi ini menyebabkan setelah pandemi, adanya gap kurang lebih sekitar 45 sampai 50 persen dari jumlah pesawat sebelum pandemi.
Kondisi ini, sebutnya, juga tidak mudah bagi maskapai, lantaran di satu sisi tingkat permintaan sudah mulai penuh. Namun, kemudian alat produksi maskapai belum maksimal. Kedua, lanjutnya, adalah biaya operasi maskapai yang tidak berkurang baik sebelum maupun setelah pandemi. Komponen biaya tersebut meliputi biaya avtur, biaya suku cadang, biaya operasi maskapai, dan lainnya. Sebagai entitas bisnis, maskapai yang meras belum mampu mengakomodir hal tersebut harus memilih rute-rute penerbangan prioritas.
“Semudah itu saja bahasanya, di mana pergerakan yang tinggi. Ya kalau nggak ada prioritas ya boncos dia [maskapai]. Bahasanya kan gitu. Wajar. Jadi sekarang enggak heran untuk pergerakan yang kita sebut sebagai rute gemuk, maskapai masuk semua,” ujarnya.
Dengan maskapai memilih prioritas untuk menerbangi rute-rute tertentu, maka masyarakat saat ini harus memahami bahwa opsi rute dan frekuensi penerbangan maskapai masih terbatas.