Bisnis.com, JAKARTA — Bank Indonesia (BI) memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan mencapai 4,37 persen pada tahun depan atau 2023.
Perkiraan tersebut lebih rendah jika dibandingkan dengan proyeksi pemerintah sebesar 5,3 persen, juga dari proyeksi sejumlah lembaga internasional.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menyampaikan, BI sangat berhati-hati dalam menyusun asumsi makro ekonomi pada 2023 dikarenakan gejolak dan ketidakpastian global yang sangat tinggi.
“Memang dunia sedang bergejolak, kami ajukan asumsi yang sangat berhati-hati, di mana sasarannya, yaitu mengendalikan inflasi secara lebih cepat sehingga membutuhkan kenaikan suku bunga dan mengendalikan nilai tukar rupiah stabil dan menguat,” katanya dalam rapat kerja bersama dengan Komisi XI DPR RI, Senin (21/11/2022).
Perry menjelaskan, dengan kondisi inflasi yang tinggi dan nilai tukar rupiah yang tertekan, diperlukan kebijakan moneter yang lebih ketat. Oleh karenanya, hal ini akan berdampak pada perlambatan pertumbuhan ekonomi.
Dia mengatakan, BI bisa saja memasang target pertumbuhan ekonomi yang tinggi, namun laju inflasi berpotensi meningkat lebih tinggi dan pelemahan nilai tukar rupiah akan berlanjut.
Baca Juga
“Sehingga memang pengaruhnya ke pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah, itulah pilihan yang kami ajukan. Pada 2023 akan lebih rendah, tapi di tahun selanjutnya akan lebih baik,” jelasnya.
Hal ini sejalan dengan risiko perlambatan pertumbuhan ekonomi global pada 2023 yang menurut BI perlu terus diantisipasi.
“Memang kondisi global tahun ini dan tahun depan masih terus bergejolak, kita tidak tahu kapan selesainya perang Rusia dan Ukraina, ditambah sekarang perang dagang Amerika Serikat dan china memanas, ketegangan geopolitik di Taiwan, dan China juga akan memperpanjang kebijakan lockdown 2 kuartal ke depan,” jelasnya.
Perry mengatakan, tingginya inflasi di dunia akibat krisis pangan dan energi juga semakin mendorong kebijakan moneter yang agresif, terutama pada kenaikan suku bunga global.
Dia memperkirakan, ekonomi global pada 2023 masih berpotensi melambat dengan pertumbuhan sebesar 2 persen, yang awalnya diperkirakan bisa mencapai 2,6 persen.
“Secara keseluruhan ekonomi dunia yang tahun ini semula 3 persen akan turun ke 2,6 persen, bahkan ada risiko turun lagi ke 2 persen, terutama di Amerika Serikat dan Eropa,” kata Perry.
Dia menambahkan, probabilitas resesi di AS saat ini pun telah mencapai 60 persen. Kemungkinan resesi tinggi juga akan terjadi di Eropa.
Lebih lanjut, kenaikan suku bunga, terutama oleh negara maju, diperkirakan akan berlangsung lebih lama. Hal ini semakin mempengaruhi perlambatan laju ekonomi dunia.
Sementara itu, Perry memperkirakan Indonesia akan menutup tahun ini dengan pertumbuhan lebih dari 5 persen.
“Di atas 5 persen Alhamdulillah konsumsi domestik juga menguat, ekspor masih cukup bagus, investasi cukup bagus,” kata Perry, Senin (21/11/2022).
Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang 2022 konsisten naik di tengah bayang resesi. Pada kuartal III/2022 roda ekonomi melesat 5,72 persen secara tahunan (year-on-year/yoy).
Secara kuartalan, triwulan ketiga lebih tinggi 1,81 persen dan secara kumulatif atau sepanjang Januari–September 2022, ekonomi Indonesia tumbuh 5,4 persen yoy.
"Pertumbuhan ekonomi tahunan meningkat secara persisten selama empat kuartal berturut-turut dengan tumbuh di atas 5 persen sejak Q4/2021," kata Kepala Badan Pusat Statistik Margo Yuwono dalam konferensi pers, Senin (7/11/2022).