Bisnis.com, JAKARTA - KTT Iklim PBB COP27 tahun ini melibatkan hampir 200 negara untuk membahas masa depan aksi global terhadap perubahan iklim.
Pertemuan yang dilakukan selama dua pekan di resor Mesir Sharm el-Sheikh, sudah membawakan hasil. Pada Minggu (20/11/2022) pagi di Mesir, para menteri delegasi mengadopsi kesepakatan akhir COP27.
Kesepakatan tersebut termasuk dana untuk membantu negara-negara miskin menghadapi bahaya yang disebabkan oleh perubahan iklim, yang disebut sebagai dana loss and damage. “Sebuah misi yang dibuat selama 30 tahun telah tercapai,” kata Molwyn Joseph, menteri dari Antigua dan Barbuda dan ketua kelompok negara pulau kecil AOSIS.
Di sisi lain, hasil dari KTT COP27 lainnya jelas tidak memuaskan banyak pihak yang ingin meningkatkan ambisi kesepakatan dalam COP26 Glasgow tahun lalu. Hasil akhir COP27 tidak mencakup komitmen untuk memperluas janji untuk mengurangi emisi batu bara, serta tidak ada referensi untuk membatasi emisi gas rumah kaca pada tahun 2025.
Hasil akhir ini jelas merupakan hasil yang sulit bagi kepala iklim Komisi Eropa Frans Timmermans, yang telah menjadi pusat perhatian di KTT. Pada akhirnya, UE dan sekutunya harus menerima sejumlah perubahan teknis dalam program kerja mitigasi yang disepakati.
Berikut adalah delapan kesimpulan utama dari KTT iklim COP27 yang melibatkan hampir 200 negara.
Baca Juga
1. Dana loss and damage
Perubahan iklim menyebabkan ketidakadilan. Negara-negara kaya memperoleh kekayaan dari bahan bakar fosil, namun merugikan negara-negara miskin yang belum mendapat manfaat tersebut akibat dampak iklim yang dihasilkan. Setelah seruan untuk memberikan kompensasi kepada korban iklim di negara berkembang terus digulirkan dalam beberapa dekade terakhir, COP27 akhirnya menghasilkan kesepakatan untuk mengusung dana yang akan mengatasi kerugian tersebut, yang disebut dengan loss and fund.
Namun, tapi terobosan ini datang dengan tanda tanya besar. Tidak ada jumlah yang disepakati dalam KTT COP27. Adapun mekanisme penyaluran dana tersebut masih harus diputuskan pada COP28 tahun depan di Uni Emirat Arab.
2. Perubahan tren pendanaan global
Untuk pertama kalinya, pertemuan COP melakukan reformasi terhadap arsitektur keuangan global agar lebih selaras dengan tujuan iklim. Idenya adalah mengubah mandat bank pembangunan multilateral seperti Bank Dunia dan lembaga keuangan internasional, seperti Dana Moneter Internasional, guna memastikan aliran pembiayaan yang lebih besar ke proyek transisi energi dan upaya untuk beradaptasi dengan planet yang memanas.
3. Negosiasi emisi yang berbelit
Isu yang menghambat negosiasi dan menjadikan COP27 KTT iklim PBB terlama yakni program kerja mitigasi untuk memastikan bahwa negara-negara menetapkan target, rencana, dan metrik yang jelas untuk mengurangi emisi sesuai dengan kecepatan untuk memenuhi tujuan iklim.
Sejauh ini, komitmen tidak mengikuti standar yang sama karena negara-negara menggunakan kriteria dan garis dasar yang berbeda untuk target mereka. Tanpa sistem yang sama, komitmen soal emisi ini tidak akan berubah menjadi aksi yang nyata.
Negara-negara yang mengutamakan iklim ingin menjalankan program tersebut hingga tahun 2030. Namun negara-negara menentang dan ingin menjalankannya hingga tahun 2025, dengan peluang untuk memperpanjangnya. Jika program berhasil, implikasinya bisa lebih kuat daripada negara-negara yang hanya menyetujui pernyataan politik dari menghentikan semua bahan bakar fosil.
4. Aturan untuk pasar karbon
Negara-negara COP26 sebelumnya sepakat untuk membuat aturan yang memungkinkan negara memperdagangkan kredit karbon. Pada COP27, negosiator menguraikan kerangka kerja yang lebih rinci tentang bagaimana pasar karbon semacam itu akan bekerja, termasuk mengizinkan perusahaan untuk membeli kredit karbon dari pemerintah. Namun, para ahli memperingatkan bahwa aturan tersebut masih belum cukup ketat.
5. Target kenaikan suhu 1,5 celsius terancam gagal
Meskipun ada upaya dari negara-negara besar seperti Amerika Serikat (AS), India, dan Uni Eropa, perjanjian Sharm El-Sheikh gagal meningkatkan ambisi untuk mengurangi emisi. Kegagalan itu membuat dunia gagal mengendalikan target pemanasan di bawah 1,5 derajat Celcius yang diabadikan dalam Perjanjian Paris 2015. Seruan untuk menghentikan semua bahan bakar fosil dan mencapai puncak global pada tahun 2025 ditolak oleh banyak negara pengekspor minyak.
6. Cairnya hubungan AS-China
AS dan China mulai bekerja sama lagi dalam bidang iklim di COP27. Utusan iklim AS John Kerry dan rekannya Xie Zhenhua mengatakan mereka telah melanjutkan kerja sama formal, yang telah ditangguhkan setelah kunjungan Ketua DPR Nancy Pelosi ke Taiwan awal tahun ini.
7. Momentum metana berlanjut
Semakin banyak negara yang menandatangani perjanjian metana yang diluncurkan di Glasgow tahun 2021. Sekarang ada 150 negara yang telah berjanji untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 30 persen pada akhir dekade ini. Bahkan, China mengatakan telah mengembangkan rancangan untuk mengekang emisi metana, meskipun tidak segera bergabung dengan perjanjian dunia.
8. Janji pendanaan
Selama COP27, dua kesepakatan pendanaan Just Energy Transition Partnership atau JETP diumumkan untuk Vietnam dan Indonesia atas upaya menghapus emis batu bara. Afrika Selatan juga mendapat persetujuan akhir dari para donornya atas rencana JETP senilai US$8,5 miliar dan Indonesia akan menyusun kesepakatan yang lebih besar lagi senilai US$20 miliar untuk beralih dari batu bara.