Bisnis.com, JAKARTA — Task Force Energy, Sustainability and Climate Business 20 (TF ESC-B20) atau Satuan Tugas Energi, Keberlanjutan dan Perubahan Iklim Konferensi B20 berhasil menghimpun 38 perjanjian kerja sama dari 11 negara untuk percepatan proyek rendah karbon dengan total investasi mencapai US$11,5 miliar atau sekitar Rp180,46 triliun (asumsi kurs Rp15.692 per US$).
“Diskusi antara pemangku kepentingan dalam TF ESC-B20 memiliki tujuan untuk mencari implementasi paling realistis dari transisi energi yang berkelanjutan dengan konsep kemandirian energi,” kata Chairman TF ESC-B20 Nicke Widyawati seperti dikutip dari siaran pers, Minggu (20/11/2022).
Sebanyak 12 peluang kerja sama lintas negara terwujud usai ajang B20 terselenggara. Dari peluang kerja sama tersebut sebanyak lima bisnis terjalin dalam upaya penurunan proyek rendah karbon.
Secara umum TF ESC B20 berfungsi sebagai jembatan bagi negara yang ingin mencapai kesepakatan bersama pada isu transisi energi secara global. Satuan tugas ESC B20 memberikan pemahaman kerja sama bagi negara yang tengah melalui masa transisi energi dengan negara yang memiliki sumber energi fosil melimpah, seperti Arab Saudi misalnya.
Peserta B20 TF ESC berasal dari berbagai perusahaan di seluruh dunia. Peserta dari Indonesia, antara lain Pertamina, Vale Indonesia, EMITS, Jababeka, WIKA, Pupuk Indonesia, Indonesia Stock Exchange, Grab Indonesia, Astra Agro Lestari, WIMA, Krakatau Steel, Unilever Indonesia, Badak NGL, Indonesia Battery Corp, L’oreal Indonesia, dan Hitachi Astemo Indo.
Sementara dari belahan Asia Timur dan Asia Tenggara adalah Jepang (JBIC, NYK, Tepco, Inpex, Chiyoda, JOGMEC, Mitsubishi, MHI), China (Sepco, CATL, Zheijang Huayou Cobalt), Korea (KIS), serta Singapura (Ignis, Cobalt). Salah satu kesepakatan kerja sama juga terjalin mengenai 'Pra-Studi Kelayakan Terkait Pengembangan E-Methane' antara PT Pertamina dengan IHI Corp. dari Jepang guna menuju industri rendah karbon.
Baca Juga
Adapun, perusahaan Amerika Serikat yang ikut di antaranya ExxonMobil, Chevron, dan Ormat. Selanjutnya dari Timur Tengah, ada Arab Saudi (Saudi Aramco, ACWA Power) dan Uni Emirat Arab (Masdar, ADNOC).
Tidak ketinggalan, diikuti juga dari perusahaan asal Eropa, yaitu Turkiye (BOTAS), Belanda (Pondera), Spanyol (Semba Corp), Prancis (Schlumberger).
Nicke mengatakan, pencegahan pemanasan global serta perubahan iklim adalah hal yang kompleks. Upaya besar-besaran ini membutuhkan perubahan skala global, termasuk mengubah teknologi yang sudah jamak, pasar keuangan dan produk, rantai pasokan, model bisnis, kerangka tata kelola, serta pertimbangan ekonomi politik.
Tidak kalah penting agar transisi energi tidak menjadi hambatan bagi agenda pembangunan yang tengah dicanangkan di negara-negara berkembang dunia, di mana tentu saja kekuatan ekonomi pendanaan berada di bawah negara-negara maju, dalam hal pendapatan per kapita, konsumsi energi, dan emisi.
“Tanpa kolaborasi ini adalah tantangan berat bagi negara maju, dalam hal pendanaan transisi energi,” kata Nicke.