Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Khudori

Khudori Anggota Pokja Dewan Ketahanan Pangan

Khudori dikenal sebagai pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI). Saat ini dia menjadi anggota Kelompok Kerja Dewan Ketahanan Pangan

Lihat artikel saya lainnya

OPINI: Penyediaan Bioetanol dari Tetes Tebu

Diproyeksikan, dengan produksi tebu nasional pada 2030 sebesar 110,1 juta ton akan dihasilkan tetes 4,95 juta ton.
Petani Tebu Rakyat/
Petani Tebu Rakyat/

Bisnis.com, JAKARTA - Ketika harga BBM fosil melambung tinggi dan rupiah terhadap dolar tertekan, sebagai negara nett importer, Indonesia terkena pukulan ganda.

Pertama, subsidi BBM naik berlipat-lipat dan menggerus anggaran negara (APBN). Kedua, dengan impor BBM 18,9 juta kiloliter pada 2021, devisa yang melayang mencapai US$14,39 miliar atau Rp205,7 triliun (asumsi kurs Rp14.300 per dolar Amerika Serikat). Karena harga BBM fosil pada 2022 lebih tinggi dari tahun lalu, devisa yang melayang tahun ini dipastikan lebih besar.

Tidak ingin tergantung sepenuhnya pada impor, pemerintah kini memperluas program bahan bakar nabati (biofuel) dengan menengok etanol sebagai campuran (blending) bensin. Rencana ini mengikuti program BBN dengan blending biodiesel dan solar yang kini dalam tahap uji coba B40 (40% biodiesel dan 60% solar).

Mengacu pada surat Menko Perekonomian ke Menteri Sekretaris Negara, 19 September 2022, pada 2023 kebutuhan bensin non-PSO (public service obligation) 6.824.911 kiloliter dan produksi etanol 423.282 kiloliter, ada potensi bioetanol 6,2% (etanol 6,2% dan bensin 93,8%).

Diproyeksikan, dengan produksi tebu nasional pada 2030 sebesar 110,1 juta ton akan dihasilkan tetes 4,95 juta ton. Jika semua by product tetes atau molases itu diolah menjadi etanol akan dihasilkan 1.239.283 kiloliter. Dengan kebutuhan bensin non-PSO pada 2030 sebesar 9 juta kiloliter, potensi bioetanol jadi 13,8%. Meskipun belum sebesar biodiesel 30%, bioetanol 13,8% tentu akan menekan kebutuhan impor bensin. Devisa untuk impor BBM bisa ditekan, yang diharapkan memperbaiki neraca perdagangan.

Di atas kertas, kalkulasi angka-angka itu mudah dibuat. Apakah angka-angka itu akan terwujud dalam realitas adalah hal lain. Selain perlu peta jalan detail yang menuntun rencana kerja, cara mencapai, evaluasi hingga outcome, yang tak kalah penting adalah pembagian terperinci siapa melakukan apa, memastikan eksekusi di lapangan secara rigid dan konsisten serta ada reward and punishment.

Masalahnya, justru integrasi kebijakan dan konsistensi eksekusi di lapangan secara rigid selama ini jadi tantangan terbesar integritas kebijakan pemerintah. Banyak kebijakan baik tetapi eksekusi karut marut. Target meleset.

Pertama, produksi tebu 110,1 juta ton pada 2030 didasarkan pada proyeksi luas panen tebu PT Perkebunan Nusantara III—yang telah membentuk holding pabrik gula BUMN bernama PT Sinergi Gula Nusantara atau Sugar Co—mencapai 670.561 ha. Saat ini, total luas panen tebu PTPN III hanya 180.560 ha. Pertanyaannya, dari mana tambahan luas panen sebesar 490.001 hektare itu? Bukankah luas panen tebu pabrik gula (PG) BUMN terus turun? Rentang 2016—2021, luas panen tebu PG BUMN turun 53.247 ha, 48.763 ha di antaranya di Jawa.

Kedua, produksi tebu 110,1 juta ton pada 2030 didasarkan pada asumsi rendemen PTPN III sebesar 9,2% dan produktivitas tebu 92,6 ton/ha. Saat ini rendemen yang dicapai baru 7% dan produktivitas tebu 73,7 ton/ha. Pertanyaannya, bagaimana cara mendongkrak rendemen dan produktivitas tebu?

Ketiga, produksi etanol sebesar 1,24 kiloliter pada 2030 didasarkan asumsi semua tetes yang dihasilkan PTPN III (2,16 juta ton) dan swasta (2,79 juta ton) diproduksi jadi etanol padahal, tetes produksi swasta (juga PTPN III) selama ini sudah digunakan untuk bahan baku bumbu masak, alkohol, dan kosmetik.

Bisakah dipastikan semua tetes, terutama milik swasta, akan disetor untuk program BBN dan diolah jadi etanol? Bagaimana jika tetes itu tidak mungkin digeser? Apa alternatif penggantinya?

Keempat, program bioetanol kompetitif karena harga BBM fosil saat ini mahal. Mengacu pada harga indeks pasar BBN bioetanol dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Juni 2022, harga bioetanol Rp13.602/liter, lebih rendah dari Pertamax (Rp14.500/liter) dan Pertamax Turbo (Rp15.900/liter).

Bukan hal baru BBN akan kompetitif ketika harga BBM fosil mahal. Ini sudah terjadi berpuluh tahun lalu. Ketika harga BBM fosil mahal, bahan nabati banyak diolah jadi biofuel. Mulai dari buah atau biji (misalnya jarak pagar dan kelapa sawit), batang (tebu), hingga akar tumbuhan (singkong). Bahan nabati yang semula untuk pangan kini ditarik untuk bahan bakar.

Pertanyaannya, bagaimana masa depan program bioetanol ketika harga BBM fosil murah? Akankah program bioetanol bakal berkelanjutan? Sejatinya, pencarian energi alternatif berbasis etanol bukan hal baru. Program seperti ini telah selesai tahun 1980-an.

Ada baiknya pemerintah belajar dari program B30. Program ini berjalan sampai hari ini karena bahan baku sawit melimpah dan ada offtaker: Pertamina. Lalu, agar B30 kompetitif di pasar, ada ‘subsidi’ dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Tahun 2021, nilai ‘subsidi’ mencapai Rp51 triliun. Subsidi diberi tanda kutip karena bukan dari APBN, tapi dikutip BPDPKS dari industri sawit. Sampai kini belum ada badan seperti BPDPKS di industri gula berbasis tebu. Kala harga BBM fosil murah, apakah pemerintah akan mensubsidi bioetanol? Tanpa kepastian ini, program terancam.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Khudori
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper