Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Risyaf Fahreza

Analis Kebijakan di Pusat Kebijakan Sektor Keuangan, Badan Kebijakan Fiskal

Dia meraih gelar master di bidang ekonomi dari Eastern Michigan University.

Lihat artikel saya lainnya

OPINI: Inflasi, Suku Bunga, dan Indonesia

Tingkat inflasi inti, atau inflasi di luar volatile foods dan energi, berada pada level 6,3%, turun dibanding bulan sebelumnya sebesar 6,6%.
Warga Amerika Serikat (AS) berbelanja di salah satu supermarket. Departemen Tenaga Kerja AS mencatat indeks harga konsumen (IHK) AS naik 8,3 persen pada Agustus 2022 dari periode yang sama tahun sebelumnya (yoy)./Bloomberg
Warga Amerika Serikat (AS) berbelanja di salah satu supermarket. Departemen Tenaga Kerja AS mencatat indeks harga konsumen (IHK) AS naik 8,3 persen pada Agustus 2022 dari periode yang sama tahun sebelumnya (yoy)./Bloomberg

Bisnis.com, JAKARTA - Sinyal yang ditunggu akhirnya datang juga. Amerika Serikat (AS) baru saja merilis data inflasi bulan Oktober. Dalam rilis tersebut, inflasi di AS tercatat sebesar 7,7% (year-on-year/YoY) atau lebih rendah dibandingkan dengan ekspektasi pasar.

Di sisi lain, laju inflasi inti juga mulai melambat. Tingkat inflasi inti, atau inflasi di luar volatile foods dan energi, berada pada level 6,3%, turun dibanding bulan sebelumnya sebesar 6,6%. Ini menjadi sinyal positif bahwa inflasi di AS telah mulai meninggalkan puncaknya, dan perlahan melandai.

Dalam beberapa waktu terakhir, AS sedang menghadapi situasi yang tak mudah. Laju inflasi berada pada level tertinggi dalam 40 tahun terakhir. Harga-harga kebutuhan pokok, seperti bensin, listrik, dan bahan makanan melonjak tajam. Kondisi tersebut diperparah dengan kenaikan suku bunga oleh the Fed.

Ya, The Fed atau bank sentral AS, memang tak punya banyak pilihan kebijakan. Laju inflasi yang terus menanjak tinggi harus direspons dengan kenaikan suku bunga yang agresif. Bahkan, kebijakan saat ini dianggap sebagai salah satu kebijakan paling agresif dalam sejarah The Fed. Tak heran apabila dianggap agresif, mengingat sepanjang 2022 The Fed telah menaikkan suku bunga acuan sebesar 375 bps. Yang terbaru, pada pertemuan bulan November ini, The Fed kembali menaikkan suku bunga acuan sebesar 75 bps ke level 3,75%—4,0%.

Pengetatan moneter yang dilakukan oleh The Fed tentu saja telah berdampak pada banyak hal. Satu hal yang paling terasa adalah perlambatan ekonomi. Sebagai contoh, aktivitas manufaktur AS terus melambat. Pada Oktober 2022, Purchasing Manager’s Index (PMI) manufaktur AS turun ke level 50,2, level terendah sejak pertengahan 2020.

Pelemahan ekonomi di AS juga tecermin dari meningkatnya angka pengangguran. Pada Oktober 2022, tingkat pengangguran di AS berada pada level 3,7% meningkat dibanding bulan sebelumnya 3,5%. Pada periode tersebut, jumlah pengangguran meningkat sebanyak 306.000 orang menjadi 6,06 juta pengangguran. Beberapa perusahaan high tech, seperti Meta, Twitter, dan Lyft, juga telah melakukan pemangkasan tenaga kerja cukup besar. Kondisi ini adalah respons alamiah di pasar tenaga kerja terhadap kenaikan suku bunga dan perlambatan ekonomi.

Respons lain yang ditunjukkan perekonomian terhadap agresifnya The Fed adalah munculnya gejolak di pasar keuangan. Investor khawatir bahwa kenaikan suku bunga yang terlalu agresif akan membawa AS ke jurang resesi. Oleh karena itu, dolar AS sebagai safe haven currency menguat tajam. Bahkan, indeks dolar AS sempat berada pada level tertinggi dalam dua dekade terakhir. Di pasar obligasi, agresivitas kebijakan The Fed juga direspons pasar dengan lonjakan yield US Treasury ke level tertinggi sejak 2008, yaitu di atas level 4%.

Dampak yang begitu besar diyakini belum akan berhenti sampai di sini. Meskipun laju inflasi di AS mulai melambat, level tersebut masih jauh di atas target inflasi The Fed yang sebesar 2%. Oleh karena itu, the Fed diperkirakan masih akan melakukan beberapa kali kenaikan suku bunga lagi dalam beberapa bulan mendatang, tetapi diperkirakan tidak akan seagresif seperti saat ini.

RISIKO BAGI RI

Sebagai negara dengan perekonomian paling berpengaruh di dunia, apa yang terjadi di AS tentu akan merambat ke negara lain, termasuk Indonesia. Sebagai contoh, ekspansi PMI manufaktur Indonesia mulai melambat seiring dengan melambatnya pesanan baru dari luar negeri dan menguatnya Dolar AS. Contoh lain juga terjadi di pasar keuangan. Sama dengan yang terjadi di banyak negara berkembang lainnya, telah terjadi aliran modal asing keluar di pasar Surat Berharga Negara (SBN) cukup deras, yaitu sebesar Rp176,29 triliun hingga pekan pertama bulan November. Derasnya aliran modal asing keluar tersebut berdampak pada pelemahan nilai tukar Rupiah yang menyentuh level Rp14.600an per dolar AS, atau melemah di kisaran 9% (YtD).

Pelemahan rupiah tergolong masih moderat dan terkendali bila dibandingkan dengan banyak negara berkembang lainnya. Tetap saja ini harus diwaspadai karena dikhawatirkan dapat mendorong kenaikan inflasi, terutama yang berasal dari imported inflation akibat pelemahan nilai tukar. Meskipun inflasi masih terkendali dan lebih rendah dari perkiraan awal, Indonesia akan terus mewaspadai risiko tersebut dengan terus melakukan upaya stabilisasi nilai tukar.

Dampak lain yang terus diwaspadai adalah kenaikan cost of fund. Hingga awal November, yield SBN tenor 10 tahun meningkat sebesar 111 bps. Dibandingkan ke­naikan yield di banyak negara berkembang, lonjakan yield SBN relatif mild dan manageable. Namun, kewaspadaan yang tinggi terhadap kenaikan cost of fund akan terus dijaga mengingat kebutuhan pembia­yaan Indonesia masih tinggi sebagai respons untuk pemulihan ekonomi.

Dampak dari agresivitas kebijakan moneter The Fed memang tak bisa dihindari oleh negara mana pun. Beruntungnya, dampak yang ditimbulkan oleh agresifnya kebijakan moneter The Fed masih sangat manageable di Indonesia. Tidak hanya bermodal keberuntungan, resiliensi perekonomian Indonesia utamanya juga didukung oleh kredibilitas kebijakan ekonomi dan sektor keuangan, sehingga gelombang risiko yang datang mampu dimitigasi dengan baik.

Ke depan, situasi perekonomian dan pasar keuangan global masih tak menentu. The Fed juga diperkirakan masih akan hawkish hingga kuartal I/2023 mendatang. Tingginya inflasi diyakini juga masih akan terjadi di banyak negara. Selain itu, ekspektasi terhadap kenaikan cost of fund juga masih cukup tinggi.

Dengan adanya dinamika tersebut, ketahanan eksternal Indonesia penting untuk terus diperkuat. Bauran kebijakan yang solid dan kredibel, yang selama ini terbukti mampu memoderasi dampak risiko ekonomi global, penting untuk terus dijalankan. Di tengah situasi ekonomi yang serba tak menentu seperti saat ini, kredibilitas kebijakan akan menjadi faktor penolong.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Risyaf Fahreza
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper