Bisnis.com, JAKARTA - Guru Besar IPB University, Dwi Andreas Santosa, menanggapi target swasembada gula pemerintah lewat Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Percepatan Swasembada Gula Konsumsi 2025 dan Rafinasi 2030.
Dwi menyangsikan target tersebut bakal terealisasi, lantaran pemerintah terlalu berfokus pada konsumen dan bukan kesejahteraan petani.
“Itu banyak dibicarakan dalam berbagai forum, tapi kenyataannya tidak demikian. Karena apa, fokus pemerintah terlalu berat pada konsumen. Sehingga ketika ada inflasi sedikit pemerintah ribut kan. Nanti sedulur tani yang ditekan lagi,” kata Dwi, Kamis (27/10/2022).
Dia melanjutkan, wacana swasembada gula atau komoditas pangan kerap dijargonkan oleh pemerintah sejak dulu. Namun pada pelaksanaannya, pemerintah ujung-ujungnya terus mengandalkan impor. Dia mencontohkan, impor gula beberapa tahun ini melonjak drastis.
“Sekarang gula, tahun 2021 kemarin sudah 70 persen [impor], meningkat dari biasanya antara 50-51 persen jika dihitung dengan gula rafinasi. Jadi ini hanya sekadar jargon, tidak memecahkan sama sekali,” ujarnya.
Kepala Biotech Center IPB itu mencontohkan Menteri Pertanian saat dijabat oleh Andi Amran Sulaeman (periode 2014-2019) yang menargetkan swasembada padi, jagung dan kedelai (Pajale) dan akhirnya gagal. Selain itu, pada era Amran juga pernah ada target swasembada bawang putih pada 2017 dan 2019.
“Kenyantaannya apa? Kita impor bawang putih 450.000 ton, sekarang 600.000 ton. Jadi swasembada berdasarkan impor,” ujar Dwi.
Lebih lanjut, dia juga menyoroti beberapa ketentuan yang termuat dalam Perpres Swasembada Gula. Salah satunya terkait PTPN III yang diberi mandat untuk meningkatkan luas lahan tebu sebanyak 700.000 hektare.
Menurut Andreas, dengan luas lahan tebu saat ini yang hanya 150.000 ha, target seperti itu tidak realistis. Apalagi, selama Presiden Jokowi berkuasa alih fungsi lahan pertanian/perkebunan sangat masif.
“Ada 508.000 ha di Jawa saja terjadi peralihan lahan selama 10 tahun terakhir. Ini mau nambah 700.000 hektar. Dari mana, jatuh dari langit?,” ucap Andreas.
Menurutnya, kegagalan tersebut juga disebabkan minimnya pemerintah melibatkan petani dalam program-programnya. Meskipun, kata Dwi, mereka kerap mengklaim selalu menerima aspirasi petani dalam setiap kebijakannya.
“Kadang-kadang saya tidak paham mengapa teman-teman di pemerintah tidak paham, karena persoalannya sudah amat jelas, persoalan adalah kesejahteraan petani yang tidak terealisasi,” ungkapnya.