Bisnis.com, JAKARTA — RUU Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK) atau omnibus law keuangan memungkinkan skema berbagi beban atau burden sharing antara Bank Indonesia (BI) dan Kementerian Keuangan berlaku secara permanen. Independensi BI bisa terancam?
RUU PPSK menambahkan Pasal 36A dan 36B, yang salah satu poinnya menyebutkan bahwa BI berwenang membeli surat berharga negara (SBN) di pasar perdana untuk penanganan permasalahan sistem keuangan yang membahayakan perekonomian nasional, guna mendukung pelaksanaan kewenangan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK).
Peneliti Senior Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Deni Friawan menyampaikan bahwa tanpa penjelasan yang lebih detail dan transparan tentang kapan ketentuan ini dapat diterapkan, aturan tersebut berpotensi disalahgunakan dan mengancam independensi BI.
“Jika hal ini tanpa diberikan penjelasan yang lebih detail dan transparan, itu akan sangat berbahaya,” katanya dalam diskusi yang digelar CSIS, Kamis (27/10/2022).
Dia menyampaikan aturan burden sharing yang permanen nantinya bisa memungkinkan BI untuk 'mencetak uang' secara terus-menerus untuk misalnya membantu mengatasi krisis atau membantu pertumbuhan ekonomi atau sesuai dengan keputusan KSSK.
Pada RUU PPSK juga, Kemenkeu diberikan peran yang lebih kuat dalam KSSK dalam pengambilan keputusan. Oleh karena itu, dikarenakan posisi Menteri Keuangan lebih bersifat politis. Dengan demikian, status BI sebagai bank sentral menjadi tidak lagi independen.
“BI tidak lagi independen mengatur kebijakan yang berurusan dengan stabilitas keuangan karena formulasi kebijakan berpindah ke KSSK,” jelasnya.
Dia menambahkan ketentuan ini dapat menjadikan BI sebagai ‘sapi perah’ pembangunan dan sumber pembiayaan politik anggaran pemerintah.
"BI berpotensi melakukan pencetakan uang yang lebih banyak tanpa memikirkan kelanjutan stabilitas perekonomian di masa mendatang," imbuhnya.