Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Sewindu Jokowi, Mengurai Bottleneck Revolusi Industri 4.0

Sewindu Jokowi menyisakan adanya bottleneck dalam upaya Indonesia melakukan revolusi Industri 4.0.
Sejumlah karyawan tengah memproduksi pakaian jadi di salah satu pabrik produsen dan eksportir garmen di Bandung, Jawa Barat, Selasa (25/1/2022). Bisnis/Rachman
Sejumlah karyawan tengah memproduksi pakaian jadi di salah satu pabrik produsen dan eksportir garmen di Bandung, Jawa Barat, Selasa (25/1/2022). Bisnis/Rachman

Bisnis.com, JAKARTA - Segmen midstream industri tekstil masih menjadi bottleneck dalam upaya Indonesia mengimplementasikan teknologi 4.0. Sejauh ini, baru 50 persen perusahaan yang keep up dengan rencana tersebut.

Hal itu disampaikan oleh Ketua Umum Asosiasi Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta. Menurutnya, hal yang menjadi hambatan adalah kemampuan investasi pengusaha di segmen itu.

"Sebab, segmen midstream kebanyakan diisi oleh pelaku usaha menengah sehingga kemampuan untuk investasi terbatas. Bahkan, hanya untuk membeli mesin penghasil benang dan kain," kata Redma kepada Bisnis.com, Jumat (21/10/2022).

Selain itu, masuknya barang-barang impor dari China sejak 2012 kian menekan daya saing sebagian pengusaha tekstil segmen midstream. Kondisi itu kemudian diperparah oleh pandemi Covid-19.

Berbeda dengan sektor hulu tekstil. Redma mengatakan implementasi teknologi 4.0 di sisi hulu sudah dilakukan secara menyeluruh setelah 3 tahun pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Mulai dari mesin produksi, pendataan aktivitas pabrikan, penjualan, perihal perpajakan, hingga suhu pabrik beroperasi melalui sistem yang sudah terintegrasi.

"Sebelum pemerintahan Presiden Jokowi, baru di lini produksi saja yang sudah terintegrasi," sambungnya.

Melihat ketimpangan tersebut, dia berharap pemerintah memberikan perlindungan terhadap pengusaha tekstil di segmen midstream, terutama dari barang-barang impor, sehingga pasar domestik maupun ekspor dapat dioptimalkan.

Apsyfi mencatat konsumsi produk garmen tahunan masyarakat Indonesia sebesar 1,8 juta ton. Sebanyak 70 persen di antaranya diproduksi di dalam negeri, baik dengan bahan baku lokal maupun asing.

Sisanya, produk garmen di pasar domestik diisi oleh produk-produk dari sejumlah negara. Mayoritas dari China, Bangladesh, Korea Selatan, dan Vietnam.

Selain itu, ada 300.000 ton produk garmen ilegal yang masuk ke Indonesia per tahun. Jumlah tersebut setara dengan sekitar 15 persen konsumsi garmen masyarakat Indonesia.

Pemerintah pun diminta menutup keran impor tekstil dan produk tekstil yang dibuka pada kuartal II/2022. Saat ini, industri tekstil nasional sudah diberatkan dengan tarif 0 persen impor garmen dari Thailand.

Di samping itu, negara raksasa eksportir TPT lainnya seperti Bangladesh juga sudah terbebas dari aturan safeguard, meskipun masih dikenakan tarif masuk sebesar 15 persen untuk produknya.

Sebagaimana diketahui, industri tekstil dan pakaian merupakan satu dari lima sektor yang menjadi fokus pemerintahan Jokowi dalam mewujudkan cita-cita industri 4.0 di Tanah Air.

Namun, lambatnya progres implementasi teknologi 4.0 di segmen midstream menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah dalam meningkatkan produktivitas manufaktur dan buruh melalui penerapan teknologi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Rahmad Fauzan
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper