Bisnis.com, JAKARTA – Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya (PPKE FEB-UB) merekomendasikan agar pemerintah perlu mempertimbangkan berbagai sisi yang terlibat dalam kebijakan kenaikan tarif cukai dan harga rokok di Indonesia, seperti tenaga kerja, penerimaan CHT, kesehatan, rokok ilegal, industri, hingga pertanian.
Pasalnya seperti diketahui bahwa dalam beberapa bulan ini, sejumlah ekosistem tembakau menolak rencana kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) 2023. Hal itu karena merujuk dokumen UU APBN 2023, pemerintah akan menaikan cukai sebesar Rp 245,4 triliun.
Direktur PPKE FEB-UB, Candra Fajri Ananda mengatakan, hasil kajian bertajuk 'Analisa Keseimbangan Kebijakan IHT di Indonesia' itu menegaskan keberlangsungan industri hasil tembakau (IHT) legal menjadi bagian penting dalam pertimbangan kebijakan cukai di Indonesia untuk menjaga keberlangsungan IHT demi mendorong terbukanya lapangan pekerjaan dan menurunkan angka pengangguran di Indonesia.
Hal itu perlu dilakukan mengingat indikator angka prevalensi merokok usia dini telah tercapai di RPJMN yang menargetkan penurunan sebesar 8,7%. Pada perkembangannya, presentase penduduk merokok usia dini (10-18 tahun) telah melebihi capaian target pemerintah dari 7,2% (2013) menjadi 3,8% (2020).
"Hasil kajian itu menunjukkan bahwa kenaikan harga yang terlalu tinggi akan mengancam kesinambungan IHT yang terbukti mengalami penurunan jumlah pabrikan rokok terutama golongan 1. Pasalnya, golongan 1 memiliki tingkat sensitivitas terbesar apabila terjadi perubahan harga. Kenaikan harga rokok pada golongan 2 dan 3 memberikan kontribusi besar terhadap kenaikan peredaran rokok ilegal," ujarnya, di Jakarta, Kamis (13/11/2022).
Dirinya mengatakan, secara umum kenaikan harga rokok akan berdampak negatif terhadap keberlangsungan IHT dan pertumbuhan penerimaan CHT. Kenaikan harga berpengaruh secara langsung terhadap kenaikan jumlah permintaan rokok ilegal.
Baca Juga
"Kenaikan harga rokok yang dilakukan secara terus menerus akan berdampak terhadap peningkatan peredaran rokok ilegal dan keberlangsungan IHT yang selanjutnya juga dapat meningkatkan dampak negatif bagi kesehatan konsumen rokok dan berpotensi menurunkan penerimaan negara," terangnya.
Oleh sebab itu, sambung dia, kenaikan harga rokok bukan langkah efektif untuk mengendalikan konsumsi rokok. Pasalnya, dampak kenaikan harga rokok terhadap peningkatan peredaran rokok ilegal dan penurunan pabrik rokok lebih besar dibandingkan dengan penurunan angka prevalensi merokok.
"Saat ini, pemerintah perlu menahan kenaikan harga rokok untuk menjaga keseimbangan pilar lain yang terlibat dalam IHT," ujarnya.
Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar (Mintegar) Kementerian Perindustrian, Edy Sutopo mengusulkan agar tidak ada kenaikan cukai hasil tembakau pada 2023. Kalaupun dinaikan, diusulkan angkanya setinggi inflasi.
Pasalnya, kenaikan cukai ini tidak bisa diikuti secara otomatis oleh kenaikan harga. Pasti ada leg terus. "Kalau tidak ada waktu jeda, maka ini akan mengikis margin atau barangkali akan berdampak buruk terhadap kelangsungan IHT," katanya.
Menurutnya, dalam 3 tahun terakhir, CHT terus digeber naik. Tahun 2020 naik 23%, tahun 2021 naik 12%, dan tahun 2022 sebesar 12%. Karena itu, berbagai kebijakan terhadap cukai perlu kehati-hatian, salah satu dampaknya akan mendorong meningkatnya rokok ilegal.
"IHT merupakan salah satu bantalan perekonomian nasional, di samping industri kecil menengah dan industri makanan minuman. IHT juga sudah terbukti menghadapi berbagai krisis ekonomi, termasuk di masa pandemi Covid-19 yang belum berlalu ini," terangnya.
Indonesia saat ini dinilai masih membutuhkan sumbangsih IHT. Artinya, diperlukan sikap kehati-hatian dalam pengambilan kebijakan. Kebijakan yang ketat terhadap IHT berpotensi akan mematikan kelangsungan IHT.
Sementara itu di lain pihak, dengan pengetatan kebijakan ini, perokok tidak akan berhenti. “Artinya apa? Kalau kita tidak mengisi kebutuhan rokok di dalam negeri, maka akan diisi oleh produk impor dan produk illegal,” ujarnya.
Anggota Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun mendorong pemerintah perlu segera menambah alternatif barang kena cukai (BKC) sebagai upaya mendorong peningkatan penerimaan negara, mengingat kenaikan tarif cukai rokok telah mencapai titik optimum dalam mendorong penerimaan.
Menurutnya, penerimaan cukai di Indonesia selama ini hanya mengandalkan 3 obyek BKC, yakni CHT, MEA, MMEA.”Kami mendorong multi stakeholders untuk mengonsolidasikan kekuatan bersama untuk kepentingan negara yang sangat fundamental yaitu penerimaan negara yang sangat besar," tegas dia.
Politisi Partai Golkar ini mengingatkan para pengambil kebijakan negara jangan sampai terkooptasoi oleh agenda-agenda global yang ingin menginfiltrasi kelangsungan eksosistem tembakau yang punya peran strategis bagi negara, seperti dorongan aksesi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), penyederhanaan (simplifikasi) tarif cukai, dan lainnya.
Rektor Universitas Jenderal Achmad Yani (Unjani), Hikmahanto Juwana mengingatkan ancaman yang bisa dihadapai pemerintah bisa dating dari dalam maupun luar negeri. Ancaman dalam negeri maraknya seperti rokok ilegal, penyelundupan rokok, dan lainnya. Ancaman dari luar negeri seperti mengambil pangsa pasar yang ada di Indonesia.
“Di Indonesia pangsa pasar sangat luar biasa dan tentu merupakan sesuatu yang seksi. Hal ini sangat mungkin ada gangguan dari luar negeri. Ini yang perlu kita waspadai,” terangnya.
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia ini mengingatkan agar pemerintah mampu merumuskan sebuah kebijakan terhadap IHT yang semangatnya kemandirian. Ia bilang, revisi PP No. 109/2012 yang saat ini masih dibahas kementerian/lembaga terkait, itu menjadi ancaman bagi ekosistem tembakau.
Padahal, keberadaan PP 109/2012 ini sudah mengakomodasi banyak perjanjian antar negara yang berkaitan dengan hasil tembakau. Melalui perjanjian internasional, sambung dia, kemandirian/kedaulatan Indonesia bisa dikerdilkan, karena mengikuti apa yang ditentukan oleh perjanjian internasional itu.