Bisnis.com, JAKARTA - Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia khawatir kenaikan suku bunga acuan yang dilakukan oleh Bank Indonesia (BI) sebanyak 75 basis poin (bps) pada 2022 ini bukan menekan inflasi melainkan malah akan menghambat pertumbuhan ekonomi.
Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Maritim, Investasi dan Luar Negeri, Shinta Widjaja Kamdani mengatakan meskipun pihaknya memahami alasan kenaikan suku bunga berturut-turut seperti ini, tapi kenaikan itu dikhawatirkan dampak kumulatifnya.
Dia membeberkan hampir bisa dipastikan dalam waktu dekat, 1-3 bulan ke depan suku bunga pinjaman riil, baik untuk pelaku usaha maupun masyarakat, akan naik signifikan karena kenaikan suku bunga BI dalam 3 bulan terakhir sudah mencapai 1,5 persen.
Sementara itu, Shinta menyebut inflasi nasional secara tahunan (year on year/yoy), bukannya semakin mereda seiring dengan kenaikan suku bunga acuan, tapi malah makin naik mencapai 5,95 persen yoy.
“Kami khawatirkan kenaikan suku bunga ini bukannya efektif mengendalikan inflasi tapi malah lebih efektif menekan pertumbuhan ekonomi kita sendiri dan menciptakan risiko-risiko ekonomi yang bisa mengancam stabilitas fundamental ekonomi nasional di tengah krisis global seperti kenaikan risiko NPL [non-performing loan],” kata Shinta kepada Bisnis, Kamis (13/10/2022).
Dia mengatakan secara sistemik hal tersebut sangat mengkhawatirkan karena bisa mengancam stabilitas ekonomi nasional dan meningkatkan risiko krisis ekonomi di Indonesia.
“Pada saat yang sama kenaikan suku bunga yang kemungkinan masih akan terjadi akan semakin menjerumuskan Indonesia ke dalam kondisi stagflasi,” ujar CEO Sintesa Group itu.
Oleh karena itu, dia berharap pemerintah bisa menahan kenaikan suku bunga lebih lanjut dan lebih fokus pada upaya pengendalian inflasi.
“Kami ingin melihat kenaikan suku bunga ini disertai dengan penurunan inflasi. Dengan perkembangan yang ada sudah cukup jelas bahwa kenaikan suku bunga acuan tidak bisa menjadi satu-satunya instrumen untuk mengendalikan inflasi,” ujar Shinta.
Menurut Shinta, harus ada tindakan lain oleh pemerintah yang lebih efektif dalam mengendalikan inflasi, misalnya seperti operasi pasar. Pada saat yang sama, Kadin juga berharap pemerintah mempercepat restrukturisasi ekonomi nasional agar beban-beban biaya produksi dan biaya hidup nasional menjadi jauh lebih efisien.
Selain itu, Shinta juga menilai perlu ada koordinasi dengan pelaku usaha untuk menyeimbangkan supply dan demand pasar, mendiversifikasi impor ke suplai lokal untuk menekan tingkat inflasi.
“Perlu juga memberi insentif bagi pelaku usaha untuk menahan dampak negatif pelemahan daya beli pasar dan menekan risiko NPL untuk pelaku usaha sektor riil, khususnya UMKM atau perusahaan nasional yang memiliki kecukupan kapital atau cashflow yang terbatas agar pertumbuhan masih bisa terus dipicu meski kondisi tidak favourable,” ungkap Shinta.