Bisnis.com, JAKARTA - Mewujudkan pembangunan rendah karbon merupakan bagian dari menuju ekonomi hijau untuk mencapai visi Indonesia maju 2045 dan nol emisi pada 2060.
Transformasi menjadi ekonomi hijau merupakan salah satu pilar strategi agar Indonesia dapat keluar dari “middle income trap”. Pembangunan ekonomi hijau melalui perhutanan sosial akan mendorong pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kesejahteraan sosial, serta juga dapat berperan menjaga lingkungan alam.
Perhutanan Sosial merupakan program reforma agraria untuk keadilan akses masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan yang ditunjang dengan program pemerataan ekonomi agar memberikan manfaat pemberdayaan ekonomi dengan prinsip-prinsip pengelolaan hutan yang berkelanjutan.
Ditengarai terdapat 10,2 juta penduduk yang tinggal di kawasan hutan, dengan kondisi ekonomi yang belum sejahtera. Agar dapat mengangkat derajat kesejahteraan masyarakat sekitar hutan, diperlukan peran negara dalam mengatasi masalah yang timbul.
Caranya adalah melalui pemberdayaan masyarakat sekitar area hutan dengan konsep perhutanan sosial di mana masyarakat diberi kesempatan menggarap lahan sekitar hutan secara legal atau berproduksi, tetapi dengan tetap menjaga pelestariannya melalui pemberian modal berupa Kredit Usaha Rakyat (KUR) untuk menunjang usahanya.
Perhutanan sosial sendiri adalah sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara atau hutan hak/hutan adat yang dilaksanakan masyarakat setempat untuk meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan, dan dinamika sosial budaya.
Baca Juga
Saat ini, hamparan hutan Indonesia terdiri 25.863 desa di sekitarnya, di mana 70% penduduk di area kawasan hutan tersebut menggantungkan hidupnya pada sumber daya alam.
Dari situlah pentingnya memberi lahan produksi bagi masyarakat sekitar hutan sembari meraka menjaga pelestarian ekosistem hutannya.
ASPEK LEGAL
Untuk meningkatkan taraf ekonomi masyarakat sekitar hutan dan tetap menjaga kelestariannya, maka terdapat tiga hal yang harus dilakukan pemerintah.
Pertama, kebijakan pemberian alokasi lahan sebanyak 12,7 juta ha hutan negara berupa aspek legal izin pengelolaan hutan untuk penggarap lahan perhutanan sosial. Dengan dibuatnya kebijakan tersebut, masyarakat akan mendapatkan berbagai insentif berupa dukungan teknis dari pemerintah dalam mengelola perkebunan tanaman dalam area yang mereka ajukan.
Oleh karena itu, dibuatlah aturan mainnya melalui Peraturan Menteri (Permen) Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) yang mengatur pemanfaatan hutan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat, dengan dikeluarkan peraturan, yaitu; Permen LHK P.83/2016 tentang Pengakuan Perlindungan Kemitraan Kehutanan dan Permen LHK P.39/2017 tentang Izin Pengelolaan Hutan Perhutanan Sosial di Lahan Perum Perhutani.
Berdasarkan data dari Kementerian LHK, secara nasional per 1 Agustus 2022 sudah realisasi pencapaian perhutanan sosial mencapai 5.030.736,09 ha, kurang lebih 1.113.234 KK dan 7.650 unit SK.
Kedua, pola pendampingan dan keterlibatan peran institusi terkait. Pola pendampingan dapat dilakukan oleh Perhutani, Kementerian Pertanian, Kelompok Tani Hutan (KTH) dan pihak akademisi. Di mana pentingnya data koordinat untuk memastikan sumber data yang diperoleh adalah valid. Data tersebut minimal mencakup; NIK, Nama, LMDH/Kelompok Tani, Asal Petak, Luas Lahan yang digarap.
Ketiga, pembiayaan perbankan terjangkau, mudah, dan murah berupa pembiayaan modal KUR. Dalam mendorong produktivitas masyarakat dengan pemanfaatan lahan hutan secara izin legal, dapat melalui sinergi perbankan BUMN melalui penyaluran KUR. KUR merupakan kredit/pembiayaan yang diberikan oleh perbankan kepada usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi (UMKMK) yang feasible tapi belum bankable.
Syarat, model lending, dan administrasi kredit dibuat sesuai tipologi pelaku usaha mikro dan kecil, misalkan bagi petani padi, jagung, kedelai, tanaman horti, kopi, porang, dan komoditas lainnya berdasar pembayaran disesuaikan panen tiap musim atau bayar setelah panen (yarnen).
Adapun varian KUR antara lain; sektor pertanian (KUR tani), sektor kelautan dan perikanan (KUR nelayan), sektor industri (KUR kecil dan super mikro), sektor pekerja migran (KUR TKI), penyiapan calon tenaga kerja (KUR pra kerja), dan sektor kehutanan (KUR mikro),
Pemerintah tentu berharap KUR mampu menjadi katalisator proses transformasi ekonomi berkelanjutan. Oleh karena itu, pemerintah terus meningkatkan plafon KUR dari tahun ke tahun. Alokasi KUR tahun 2020 senilai Rp190 triliun, 2021 senilai Rp285 triliun, dan 2022 senilai Rp373,17 triliun.
Dengan demikian, diharapkan pembangunan ekonomi hijau melalui perhutanan sosial akan mendorong pemberdayaan ekonomi untuk kesejahteraan rakyat, mewujudkan berbagai target pembangunan nasional maupun global yang berkelanjutan.