Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah menargetkan nilai tukar rupiah berada pada kisaran Rp14.800 per dolar AS pada undang-undang APBN 2023.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan bahwa proyeksi yang telah disepakati bersama dengan DPR RI tersebut telah meningkat dari proyeksi RAPBN 2023 sebelumnya, yaitu sebesar Rp14.750 per dolar AS.
Kenaikan proyeksi ini, kata Sri Mulyani, disebabkan oleh ketidakpastian pasar keuangan global yang diperkirakan masih tinggi pada tahun depan, terutama dengan langkah Federal Reserve (The Fed) yang diperkirakan masih akan agresif.
“Harus terus diwaspadai dari sisi penguatan dolar indeks yang terjadi dengan kenaikan suku bunga di AS yang masih akan terus berlangsung hingga semester I/2023,” katanya dalam Rapat Paripurna DPR RI, Kamis (29/9/2022).
Sri Mulyani menjelaskan banyak negara di dunia tengah menghadapi ancaman inflasi yang tinggi.
Inflasi di Turki misalnya telah mencapai 80,2 persen dan Argentina mencapai 78,5 persen.
Bukan itu saja, dia menuturkan laju inflasi di negara maju pun mulai mendekati level dua digit. Hal ini mendorong respons kebijakan yang lebih ketat, terutama di AS, Inggris, dan Eropa.
“Dengan sangat agresif, bank sentral di negara tersebut menaikkan suku bunga yang menyebabkan gejolak di sektor keuangan dan menyebabkan terjadinya capital outflow dari negara emerging,” jelasnya.
Dia mengatakan aliran modal keluar atau capital outflow tercatat telah mencapai US$9,9 miliar atau Rp148,1 triliun sepanjang 2022.
Kondisi ini menimbulkan tekanan pada mata uang di negara berkembang, termasuk Indonesia. Nilai tukar rupiah hingga saat ini mencatatkan depresiasi sebesar 6,2 persen secara tahun berjalan.
Sri Mulyani mengatakan tingkat depresiasi rupiah tersebut masih jauh lebih rendah dibandingkan depresiasi mata uang negara lainnya.
Mata uang beberapa negara mengalami penurunan yang signifikan, misalnya yen Jepang yang terkoreksi sebesar 25,8 persen terhadap dolar AS.
Selain itu, nilai tukar yuan China juga mencatatkan depresiasi yang dalam, sebesar 12,9 persen terhadap dolar AS, serta lira Turki yang mencatatkan depresiasi sebesar 38,6 persen.
“Negara tetangga kita, seperti ringgit Malaysia terdepresiasi 10,7 persen, baht thailand 14,1 persen, sedangkan peso Filipina juga terdepresiasi 15,7 persen,” jelas Sri Mulyani.