Bisnis.com, JAKARTA – Kebijakan terkait perizinan seperti Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) sebagai pengganti Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan penetapan Lahan Sawah Dilindungi (LSD) dianggap menghambat penyediaan perumahan rakyat.
Pengamat Perumahan Anton Sitorus mengatakan masalah perumahan merupakan hal fundamental dan kebutuhan asasi manusia.
Namun, yang pemerintah lakukan selama ini dalam penyediaan perumahan masih jauh dari harapan.
Begitu banyak masalah klasik yang terus muncul terutama dalam hal perizinan seperti PBG dan LSD.
“Kita di sektor perumahan ini terus diselimuti masalah-masalah yang terus berulang terutama dalam hal perizinan. Hanya namanya saja yang berbeda. Seperti PBG dan LSD ini adalah soal klasik dalam versi terbaru. Ini suatu hambatan yang mungkin memang sengaja dibuat untuk mempersulit saja,” ujarnya dalam keterangan resmi, Rabu (21/9/2022).
Menurut Anton, penyediaan perumahan bagi masyarakat luas di Indonesia perlu dilakukan melalui program yang serius dan ambisius terutama oleh negara.
Baca Juga
Oleh karenanya, tidak bisa dikerjakan dalam lembaga yang memiliki fokus ganda.
Ketua Umum Konsorsium Nasional Perumahan Rakyat (Kornas-Pera) Muhammad Joni meminta agar pemerintah segera menyelesaikan hambatan dan jalan terjal yang masih terjadi dalam penyediaan rumah khususnya untuk MBR.
Berbagai kendala yang masih terjadi seperti PBG, LSD, kuota dan harga rumah subsidi bisa terjadi karena kebijakan yang tidak sinkron.
Dia berharap pemerintah memiliki target waktu untuk penyelesaian hambatan dalam penyediaan perumahan tersebut.
“Segera bereskan terutama PBG dan LSD ini. Kita akan terus monitor. Jangan ada hambatan dalam penyediaan perumahan, karena perumahan ini tanggungjawab pemerintah. Justru kita melihat pemerintah kerap kali ugal-ugalan dalam membuat kebijakan perumahan. Khusus persoalan LSD, harus diselesaikan tanpa merugikan apalagi merenggut hak-hak orang lain, mengingat ada 175 surat komplain terkait verifikasi lapangan LSD,” tuturnya.
Dia mendesak pemerintah fokus saja pada pembentukan Bank Tanah yang merupakan amanah Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK).
Bank tanah ini dapat dijadikan lahan untuk membangun rumah MBR sehingga bisa mengurangi backlog.
Wakil Ketua Komisi V DPR RI Ridwan Bae menuturkan Pemerintah perlu berkomitmen untuk memastikan program pembangunan rumah bersubsidi ini berjalan dengan baik.
Dia berharap hambatan perizinan seperti aturan PBG sebagai pengganti IMB dan penetapan LSD
“Berbagai hambatan yang ada baik dari sisi suplai maupun sisi permintaan jangan dibiarkan saja, tetapi segera diselesaikan. Harus diingat bahwa memiliki rumah layak adalah hak asasi setiap warga negara,” ucapnya.
Sementara itu, Ketua Umum DPP Real Estat Indonesia (REI) Paulus Totok Lusida berpendapat permasalahan PBG memang perlu segera dicarikan solusinya.
Pasalnya, saat ini ada keengganan pemerintah daerah (Pemda) untuk menerbitkan PBG.
Hal itu disebabkan aturan PBG ini diatur UU yakni UUCK yang memerintahkan Pemda mengeluarkan PBG lewat peraturan daerah (Perda).
“Nah, Pemda tetap tidak berani mengeluarkan PBG hanya dengan Retribusi IMB saja, jadi tetap alasannya tunggu Perda-nya. Butuh intervensi kuat dari pemerintah pusat dan Komisi V DPR RI untuk menuntaskan kendala perizinan yang sudah setahun ini terjadi,” katanya.
Di sisi lain, ada beberapa daerah yang tetap berani mengeluarkan IMB karena merujuk putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bahwa dua tahun sampai dengan perbaikan UUCK dilakukan, Pemda bisa memakai aturan lama yakni IMB.
Masalahnya, IMB tidak bisa masuk dalam data Sikumbang (Sistem Informasi Kumpulan Pengembang) sebagai syarat realisasi rumah bersusidi.
“Yang diminta (data Sikumbang) tetap PBG. Semua kerancuan dan kebingungan ini sampai kapan? Birokrasi ini mau menghambat atau bagaimana? UUCK itu dibuat untuk tujuan mempermudah, bukan justru mempersulit. Kami menilai perlu ada revolusi dalam perizinan di Indonesia, biar kejadian seperti ini tidak ada lagi,” tegas Totok.
Terkait masalah LSD, dia mengeluhkan banyaknya kasus perumahan atau pergudangan yang sudah dibangun tetapi tiba-tiba sekarang ditetapkan sebagai LSD.
Akibatnya, pembangunan dan pasokan rumah menjadi terhambat.
Padahal, sebagian besar pengembang membangun dengan memakai uang bank dimana ada cost of fund termasuk bunga yang harus tetap dibayar.
Terlebih, sebagian besar pengembang rumah bersubsidi adalah UMKM yang perlu dibantu dan didukung.
Wakil Ketua Umum DPP Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Mohammad Solikin menuturkan hingga saat ini hanya beberapa daerah saja yang sudah menerbitkan PBG.
Kondisi ini mempersulit pengembang dalam memastikan pasokan rumah bersubsidi.
“Demikian pula terkait LSD, aturan ini dikeluarkan serampangan sekali. Perumahan yang sudah ada izin dan sertifikat induknya kok tiba-tiba jadi LSD. Padahal kontribusi pajak developer itu tidak sedikit untuk negara, jadi mohon kami juga diperhatikan,” katanya.
Ke depan, dia mendorong pentingnya urusan perumahan diurus oleh kementerian sendiri.
Hal itu penting untuk membantu mengsinkronkan aturan yang akan diterapkan.
“Pengalaman selama ini butuh bertemu beberapa lembaga negara dulu untuk bisa mensinkronkan satu aturan saja. Itu pun tidak ada jaminan masalah tuntas,” ucapnya.