Bisnis.com, JAKARTA – Kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang melarang ekspor bijih nikel sejak 2020 ternyata berbuah manis. Dampak larangan tersebut terasa dalam tiga tahun terakhir, terbukti dari ekspor komoditas turunan nikel yang melesat tajam.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan nilai ekspor komoditas turunan nikel untuk nikel dan barang daripadanya serta feronikel tumbuh tinggi sejak 2020 sampai dengan Agustus 2022.
“Seiring pemberlakuan pelarangan ekspor bijih nikel, nilai ekspor komoditas turunan nikel meningkat signifikan sejak 2020,” papar Direktur Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Setianto, Kamis (15/9/2022).
Setianto memaparkan data ekspor untuk feronikel sejak Januari hingga Agustus 2022 telah melampaui capaian 2021. Pada periode tersebut feronikel tercatat dengan nilai ekspor mencapai US$8.762,9 juta sementara capaian 2021 di angka US$7.087,4. Melihat dari angka tersebut, artinya capaian 2022 masih dapat lebih tinggi lagi hingga akhir tahun.
Sama seperti feronikel, untuk produk nikel dan barang daripadanya sepanjang 2022 hingga Agustus 2022, Indonesia berhasil mengantongi nilai ekspor sebesar US$3.593,9 juta. Angka tersebut naik signifikan dari capaian 2021 di level US$1.284,5.
Bila melihat perkembangan hilirisasi nikel sejak 2020, saat mulai diberlakukan kembali larangan ekspor bijih nikel, ekspor turunannya mulai meningkat hampir dua kali lipat. Seperti Feronikel yang memiliki nilai ekspor pada 2019 sebesar US$2.595,6 juta menjadi US$4.738,9 juta di 2020.
Dalam perjalanan menuju hilirisasi, seiring dengan pelarangan ekspor mineral mentah pada awal 2017, maka ekspor bijih nikel kembali mengalami peningkatan sampai dengan 2019, di mana ekspor kembali dibuka.
“Namun akhirnya melarang ekspor bijih nikel yang kembali berlaku per 1 Januari 2020, nilai ekspor bijih nikel menjadi 0 yang berdampak pada nilai ekspor turunan nikel meningkat signifikan sejak 2020,” lanjut Setianto.
Data realisasi ekspor nonmigas pada Agustus 2022/Sumber: BPS RI
Gugatan di WTO
Gara-gara keputusan Jokowi tersebut, Indonesia berhasil memiliki daya saing untuk komoditas nikel. Pasalnya, saat nikel saat diekspor dalam bentuk bahan mentah tujuh tahun lalu hanya menghasilkan US$1 miliar atau sekitar Rp14 triliun - Rp15 triliun.
Namun, akibat kebijakan tersebut, Indonesia mendapat gugatan dari World Trade Organization (WTO) di awal 2021 akibat melarang ekspor bijih nikel.
Direktur Jenderal Perundingan Perjanjian Internasional Kemendag Djatmiko Bris Witjaksono mengatakan Indonesia berencana mengajukan banding jika kalah dalam gugatan Uni Eropa di WTO.
Baca Juga
Dia mengungkapkan bukan masalah kalah atau menang dalam persidangan WTO. Namun, yang terpenting adalah seberapa jauh Indonesia dapat konsisten dengan keputusannya.
“Untuk mencapai ke sana, prosesnya panjang sekali. Sekarang kami masih di panel awal, di panel sengketa paling pertama. Hanya Tuhan yang tahu,” kata Djatmiko, Selasa (13/9/2022).
Djatmiko pun belum dapat memprediksi kapan sengketa tersebut dapat selesai karena pihak WTO atau Uni Eropa pun dapat kembali mengajukan banding. Adapun, Indonesia memilih mengamankan nikel dalam upaya memberdayakan sumber daya dalam negeri, sehingga tidak melulu melakukan ekspor dalam bentuk mentah.
Harapannya, melalui nikel dapat membawa Indonesia naik kelas menjadi negara maju dengan mampu memproduksi barang jadi, bukan mentah ataupun setengah jadi dari nikel.
“Kenapa kami mengambil kebijakan ini? Karena semua negara punya hak untuk memberdayakan sumber daya alam untuk kemakmuran masing-masing. Berikutnya kami juga ingin menjadi negara yang bukan hanya mengekspor barang mentah, kami ingin menjadi negara maju,” kata Djatmiko.
Diberitakan sebelumnya, Jokowi menyatakan bahwa pemerintahannya tidak mempermasalahkan apabila Indonesia kalah dalam gugatan yang diajukan oleh Uni Eropa (UE) kepada WTO terkait penghentian ekspor produk bijih nikel mentah.
"Untuk semua, tidak perlu takut apabila kita ini menghentikan ekspor nikel, kemudian dibawa [Uni Eropa] ke WTO, tidak apa-apa. Dan [apabila] kelihatannya juga kalah kita di WTO tidak apa-apa," kata Jokowi saat menghadiri Sarasehan 100 Ekonom Indonesia 2022 di Jakarta, Rabu (7/9/2022).