Bisnis.com, JAKARTA — Isu penghapusan penggunaan daya listrik 450 volt ampere (VA) bergulir dalam rapat Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat atau Banggar DPR dengan Kementerian Keuangan.
Banggar memang menginginkan adanya peralihan daya listrik 450 VA ke 900 VA, tetapi belum terdapat keputusan atas usulan tersebut.
Rapat Banggar DPR dan Kementerian Keuangan berlangsung pada Senin (12/9/2022) dengan pembahasan asumsi dasar Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RUU APBN) Tahun Anggaran 2023. Rapat berlangsung dari pukul 10.00 WIB hingga menjelang petang, karena banyaknya poin pembahasan dan terdapat jeda istirahat.
Salah satu pembahasan alot dalam rapat tersebut adalah pemberian subsidi dan kompensasi energi, yang mencakup bahan bakar minyak (BBM), liquid petroleum gas (LPG), dan listrik. Alokasi subsidi dan kompensasi 2022 senilai Rp502 triliun akan habis sehingga berpotensi terjadi limpahan atau carry over anggaran ke APBN 2023.
Subsidi Energi
Ketua Banggar DPR Said Abdullah menyoroti penyaluran subsidi dan kompensasi yang dilematis dari setiap barang, karena subsidi ternyata salah sasaran. Misalnya, Pertalite dan Solar yang diberi subsidi ternyata banyak dinikmati masyarakat mampu, bahkan oleh industri atau dunia usaha.
Begitu pun LPG 3 kilogram yang sebagian besar justru dinikmati masyarakat mampu. Said menghubungkan hal-hal itu dengan masalah listrik yang bukan berupa subsidi salah sasaran, melainkan adanya kelebihan pasokan (over supply) listrik yang justru membebani keuangan negara.
"Ketika presiden, Pak Jokowi awal dulu menjadikan program prioritas nasional seperti PLN, 35 gigawatt [GW], tiba-tiba sekarang beritanya PLN itu over supply 6 GW, tahun depan PLN akan masuk lagi 1,4 GW, diperkirakan tahun 2026 masuk 7,5 GW," ujar Said dalam rapat tersebut, Senin (12/9/2022).
Dia menyebut bahwa agenda pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) akan menambah pasokan, sehingga perkiraannya over supply listrik pada 2030 dapat mencapai 41 GW. Masalahnya, kelebihan pasokan itu bersifat take or pay, yakni pemerintah harus membayar ongkos produksi listrik itu, entah nantinya terpakai atau tidak.
"Bisa dibayangkan kalau 1 GW itu karena memang top take or pay, harus bayar, 1 GW [bayar] Rp3 triliun. Bermanis-manis juga bayar Rp3 triliun, senyum Rp3 triliun, merengut Rp3 triliun, dia nggak bisa diapa-apain, wajib bayar aja Rp3 triliun," ujarnya.
Menaikkan Daya listrik
Said kemudian mengusulkan agar pemerintah menaikkan daya listrik rumah orang-orang miskin dan rentan miskin, dari 450 VA menjadi 900 VA. Argumentasinya, kenaikan daya cenderung akan mendorong konsumsi listrik rumah tangga—meskipun masyarakat miskin dan rentan miskin sebenarnya mendapatkan subsidi dari pemerintah.
Dia menyebut bahwa mekanisme itu akan menaikkan permintaan (demand), sehingga over supply listrik akan berkurang. Bahkan, dia pun mengusulkan agar pemerintah menaikkan daya rumah tangga 900 VA menjadi 1.200 VA, agar demand lebih tinggi lagi.
"Kalau dari 450 VA kita naikkan 900 VA kan nggak perlu biaya, PLN tinggal datang ngotak-ngatik kotak meteran, diutak-atik dari 450 VA dia ubah ke 900 VA selesai, kenapa itu tidak ditempuh oleh pemerintah," katanya.
Said pun mengaitkan sarannya itu dengan wacana pemberian kompor listrik gratis kepada masyarakat—isu yang sedang getol disampaikan Menteri BUMN Erick Thohir. Dia bahkan menyebut bahwa peningkatan daya listrik dan pemberian kompor listrik dapat mempengaruhi 'kecanduan' Indonesia terhadap minyak.
"Umpamanya kalau dulu di zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, masyarakat kita menerima tabung LPG 3 kilogram gratis, kenapa pemerintah tidak mencoba untuk yang 450 VA kita naikkan 900 VA, kasihlah kompor listrik gratis masyarakat itu, kan tidak apa-apa juga. Katanya kita sepakat membantu yang miskin, yang rentan miskin, tetapi kebijakannya selalu salah," ujar Said.
Belum Ada Kesepakatan
Rapat kemudian bergulir ke berbagai pembahasan lain, karena di sana turut hadir sejumlah lembaga, seperti PT Pertamina (Persero), PT PLN (Persero), PT SMF (Persero), dan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP). Hingga pembahasan daya listrik kembali muncul di penghujung rapat.
Said menyebut bahwa Banggar dan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Keuangan, satu suara untuk menaikkan daya listrik rumah tangga dari 450 VA menjadi 900 VA.
"Bahwa tadi, salah satu kebijakan yang diambil menaikkan [daya listrik] 450 VA ke 900 VA untuk rumah tangga miskin, dan 900 VA ke 1.200 VA tanpa dikaitkan dengan kompor listrik. Kami sepakat dengan pemerintah," ujar Said.
Meskipun begitu, belum terdapat aturan resmi mengenai penaikkan daya listrik rumah tangga setelah adanya kesepakatan Banggar dan Kemenkeu. Selain itu, belum terdapat kesepakatan baik dari Komisi VII DPR yang membidangi energi maupun dari PLN sebagai pelaksana teknis.