Bisnis.com, JAKARTA - Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Institute (Paspi), Tungkot Sipayung menilai kebijakan domestic market obligation (DMO) dan domestic price obligation (DPO) sering menimbulkan masalah dalam tata perkelapasawitan Indonesia. Apalagi gonta-ganti kebijakan justru menimbulkan berbagai persoalan, alih-alih menyelesaikan sengkarut minyak goreng.
Sidang lanjutan kasus minyak goreng sendiri digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta Pusat, Selasa (6/9/2022) kemarin. Agenda sidang pembacaan eksepsi atau nota keberatan para terdakwa.
Tungkot mengatakan, DMO dan DPO selain berisiko, mekanisme ini juga sulit dijalankan. Namun yang menjadi persoalan, ketika harga CPO dunia naik signifikan sejak januari 2022, pemerintah melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag) justru mengunakan jurus ini.
"Pemerintah telah keluar jalur, seharusnya ketika harga internasional naik ya tinggal naikan saja PE -nya, sehingga tidak perlu menunggu sampai minyak goreng menghilang di dalam negeri. Dan kalau sudah stabil baru diturunkan pelan-pelan," katanya kepada awak media, Kamis (8/9/2022).
Seperti diketahui, Kejaksaaan Agung telah menetapkan lima terdakwa dengan jabatan yang berbeda-beda dan perusahaan yang berbeda pula. Terdiri dari satu pejabat pemerintah Dirjen Perdagangan Luar Negeri – Kementerian Perdagangan, dan empat dari perusahaan swasta.
Mereka itu yakni Stanley MA (SMA) yang merupakan Senior Manager Corporate Affairs Permata Hijau Group, Master Parulian Tumanggor (MPT) yang merupakan Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia, dan Picare Togar Sitanggang (PTS) selaku General Manager bagian General Affairs PT Musim Mas, Weibinanto Halimdjati alias Lin Che Wei dalam jabatan Penasehat Kebijakan/Analisis Independent Research & Advisory Indonesia (IRAI) dan Tim Asistensi Menko Perekonomian yang sekarang telah memasuki tahap persidangan di pengadilan.
Baca Juga
Menurut Tungkot, gonta-ganti kebijakan DMO dan DPO akan menimbulkan ketidakpastian berusaha karena berpijak diluar kebijakan yang sudah dibangun fondasinya.
"Kondisi yang sudah baik tidak dipertahankan. Mendag waktu itu tabrak saja semuanya. Mendag membuat kebijakan terus dicabut, dibuat lagi dan kemudian dicabut kembali. Dan klimaksnya ada larangan ekspor. Industri sawit serasa runtuh," jelas Tungkot.
Gonta-ganti kebijakan, kata Tungkot, selain menimbulkan ketidakpastian berusaha juga membuat resiko rawan akan pelanggaran.
"Yang benar dalam kebijakan yang lalu bisa menjadi salah di kebijakan berikutnya. Itulah, maka pengusaha menjadi korban dalam kebijakan tersebut. Kita melihat jika ada kasus hukum yang menyimpang, kita hormati proses hukumnya. Kedepan jangan sampai kebijakan yang buat justru membawa korban," tegasnya.
Tungkot yang juga mantan Komisaris PTPN IV itu mengatakan, cepatnya perubahan kebijakan pasti menghambat dan mengurangi daya saing indutri kelapa sawit.
Tungkot menjelaskan, sebagai negara produsen sekaligus komsumen terbesar CPO di dunia pemerintah Indonesia bersama berbagai asosiasi sawit pada tahun 2011 sebenarnya telah membuat grand policy industri sawit dengan mekanisme kombinasi antara pungutan ekspor (PE) dan bea keluar (BK), hilirisasi dan peningkatan penggunaan konsumsi domestik baik untuk energi maupun makanan dan oleokimia.
"Kombinasi kebijakan ini bagus sekali untuk mewujudkan kepentingan Indonesia sebagai produsen terbesar di dunia dan sekaligus juga sebagai konsumen terbesar. Tujuan utamanya, untuk menyeimbangkan ekspor dan kepentingan domestik," kata Tungkot.