Bisnis.com, JAKARTA - Energy Watch menilai penaikan harga BBM bersubsidi adalah suatu keharusan dan mengibaratkan sebagai pil pahit yang harus ditelan.
Direktur Executive Energy Watch Mamit Setiawan mengakui banyak yang tidak setuju dengan keputusan pemerintah menaikkan harga BBM jenis Pertalite, Solar dan Pertamax karena ada risiko kenaikan inflasi.
"Memang nggak bisa dinikmati semua orang, tinggal pemerintah gimana caranya pil pahit itu nggak terlalu pahit, misalnya dengan BLT," katanya, Senin (5/9/2022).
Menurutnya, kebijakan tersebut bisa menahan beban subsidi energi yang mencapai Rp502 triliun. Apabila tidak dilakukan penaikan harga BBM, beban subsidi bisa melonjak sebesar Rp200 triliun.
Terlebih, lanjutnya, stok Pertalite dan Solar diperkirakan habis pada Oktober 2022. Dengan demikian pemerintah bisa menjaga kuota sampai di akhir tahun.
Dia berpendapat akan lebih baik jika subsidi BBM dialihkan ke sektor produktif lainnya. Sebab, subsidi BBM saat ini pun 80 persen tidak tepat sasaran.
Baca Juga
Mamit juga mendorong adanya bantuan di sektor transportasi umum, UMKM, nelayan, petani, dan lainnya. Besarnya tekanan harga BBM terhadap keungan negara salah satunya ini bisa terjadi karena pemenuhan BBM dalam negeri saat ini sebagian besar dipenuhi dari minyak mentah impor.
Terlebih, lanjutnya, produksi minyak nasional terus mengalami penurunan. Pada 2021, produksi minyak dan gas (migas) hanya mencapai 660.000 barel per hari, jauh dari cukup untuk memenuhi konsumsi masyarakat yang mencapai lebih dari 1 juta barel per hari.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Tauhid Ahmad berpendapat, anggaran pemerintah tidak akan cukup mampu jika menahan subsidi terlalu lama.
"Pemerintah harus pandai menyiasatinya, apalagi harga minyak dunia saat ini sudah mengalami penurunan," ujarnya.
Tauhid juga menyebut tidak semua anggaran pemerintah terserap. Artinya ada kemungkinan keuangan pemerintah surplus dan masih ada Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (Silpa).